Oleh Arif Saifudin Yudistira*)
Di
luar dugaan kita, orang dewasa, anak-anak lebih impresif dan lebih imajinatif
dalam membuat karya (tulisan)
Menulis, bagi anak-anak mungkin
merupakan dunia yang asing. Menulis disini diartikan sebagai cara mengutarakan
ide (gagasan) dalam bentuk tertulis. Meskipun mereka dalam keseharian di
sekolah berlatih menulis, namun, seringkali menulis disini tidak diikuti dengan
kesadaran. Sehinga mereka tak mengetahui apa yang sejatinya mereka tuliskan.
Dalam lingkungan sekolah, anak-anak seringkali menaati dan mengikuti perintah
gurunya, karena kepatuhan itulah terkadang membuat anak dan jiwanya menjadi
mati, apalagi bila ditambah dengan ancaman dan seruan keras dari gurunya.
Sebagaimana kata Naning Pranoto dalam bukunya Penulisan Kreatif Untuk Anak(2009)
menuliskan : “bukanlah hal yang mudah untuk bisa menuliskan buah pikiran dan
ungkapan perasaan. Hal ini karena selain memerlukan modal penguasaan bahasa
yang memadai, wawasan yang luas dari berbagai bacaan, berpikir runtut dan
logis, juga harus rajin berlatih menulius dilandasi rasa percaya diri”. Menurut
Naning, belajar menulis bersama anak berarti juga mengajak mereka berbahasa
dengan kaidah dan struktur yang benar. Guru-guru sering kesusahan mengajari anak
menulis dan mengarang. Padahal, dari yang sangat sederhana, anak-anak bisa
belajar mempertajam intuisi (perasaan) mereka sekaligus belajar menuliskan apa
yang mereka ketahui melalui tulisan. Salah satunya adalah dengan mengenalkan
anak-anak dengan orang di sekitar mereka (khususnya) keluarga. Menurut Naning
Pranoto menulis tentang keluarga bisa menumbuhkan rasa kasih sayang anak-anak
terhadap keluarga mereka (h.10).
Kebetulan
saya di sekolahan mengajar ekstra jurnalistik. Nama “jurnalistik”sebenarnya
hanya sebuah nama untuk menarik minat anak di dunia kepenulisan. Memang terasa
belum waktunya, ketika anak-anak diajari jurnalistik. Tetapi ternyata,
anak-anak lebih asyik dan merasakan gembira ketika mereka melakoni les
jurnalistik ini. Di kelas jurnalistik ini, saya memberi materi singkat tentang
reportase. Waktu itu, di hari jumat sore
(8/11/14), bersama kedua anak saya, mereka saya ajak untuk melakukan wawancara
langsung. Pilihan diberikan apakah mereka akan mewawancarai tukang penjual HIK,
Pelayan di alfamart, atau wawancara imajiner dengan Presiden. Anak-anak ini
saya ajak untuk menyusun tema, kemudian menyusun daftar pertanyaan yang akan di
ajukan. Dengan motifasi boleh membeli jajan dengan batasan Rp. 5.000,00 mereka
berangkat dengan senang hati. Semula Azizah menunggu lumayan lama, ia menunggu
Baiquni, katanya ia tak mau kalau ikut ekstra sendiri. Setelah itu, Baiquni pun
datang, dan berangkatlah kami ke Alfamart. Sebelum mereka wawancara, mereka
sibuk mencari barang belanjaan apa yang cocok untuk dibeli. Mereka memilih
minuman dan makanan yang cocok buat mereka sembari berhitung batasan harga yang
harus mereka beli. Yang menarik ketika mereka sudah mulai melakukan wawancara.
Ekspresi mereka yang lugu, dan mereka sudah seperti wartawan cilik beneran. Tak
memerlukan waktu lama, mereka sudah berani mengajukan pertanyaan tentang profil
pelayan, serta nama barang-barang apa saja yang dijual di alfamart. Mereka
merasa senang bisa dan berani melakukan wawancara, sambil membawa jajanan
mereka. Paska wawancara saya sedikit memberi tambahan materi terkait tentang
kesopanan sebelum melakukan wawancara. Terlebih dahulu kita harus meminta ijin,
menyapa agar responden tak tersinggung kita ganggu saat wawancara. Sebab ada
pertanyaan dari kita yang terkadang menyinggung, dan tak nyaman bagi responden.
Sore itu, bersama lelah yang
merenggut, serta kegembiraan, kami pun pulang dengan senangnya. Bila Naning
menyarankan tak perlu diajarkan anak langsung mengarang, tetapi dengan
mengisahkan gambar-gambar atau keluarga mereka, maka di esktra jurnalistik di
sekolah saya, mereka saya ajak untuk membuat kalimat dengan satu kata kunci.
Kata kunci ini membantu mereka untuk berfikir, dan menuangkan ide mereka. Waktu
itu, saya menuliskan kalimat pendek : “Hidup itu seperti air, mengalir dan terus mengalir”,
saya hanya mencontohkan kalimat serupa, tiba-tiba mereka bisa menuliskan
kalimat yang diluar dugaan saya. Kalimat-kalimat mereka selain mengejutkan juga
menunjukkan ekspresi kebebasan dan imajinasi mereka yang masih murni, dan polos.
Termasuk ketika materi puisi, saya mencontohkan puisi dengan kata “hujan”,
mereka dengan imajinasi mereka berhasil membuat puisi yang mengejutkan. Buku
dari Naning Pranoto bertajuk Penulisan Kreatif Untuk Anak(2009)
setidaknya adalah sedikit dari gambaran bahwa menulis bagi anak adalah mungkin
dan tak mustahil. Di luar dugaan kita, orang dewasa, anak-anak lebih impresif
dan lebih imajinatif dalam membuat karya (tulisan). Buku ini memang sekadar
pengantar dan gambaran singkat bagaimana mengajak anak-anak belajar menulis.
Meski demikian, anak-anak di kelas besar (4,5,6) lebih memungkinkan dan lebih
optimal untuk diajak berlatih menulis. Banyak dari penulis besar justru
memberikan pengakuannya bahwa mereka sudah menulis semenjak mereka di usia SD.
Buku ini setidaknya menjadi cermin dan gambaran bagi saya untuk menuliskan apa
yang anak-anak alami ketika belajar menulis bersama saya. Saya memiliki mimpi,
semoga kelak anak-anak dan saya bisa membuat buku bersama sebagai hasil dan
dokumentasi dari apa yang telah saya dan anak-anak saya pelajari bersama.
Aaamiin….
*)
penulis adalah pengelola doeniaboekoe.blogspot.com
No comments:
Post a Comment