Buku seperti ini
penting ditulis, sebab jaman sekarang orang memerlukan bacaan santai, sekaligus
membuat mereka menjadi makhluk yang sadar dan kembali terketuk, bahwa peran
mereka ada, dan mereka ada untuk berperan
Oleh
Arif Saifudin Yudistira*)
Semenjak aku memasuki kuliah entah mengapa setidaknya aku diberkati dengan
kemampuan bicara yang lumayan. Kemampuan bicara ini tak hanya kelak berguna
dalam urusan kecakapan hidup, pelan-pelan kemampuan bicara itu menuntunku untuk
jadi provokator buku-buku bagus atau provokator demonstrasi sekaligus. Tak
heran, ketika aku semester 5 aku justru sering ditunjuk untuk menjadi
coordinator lapangan. Pernah, pengalaman menyakitkan saat ditunjuk jadi korlap
demonstrasi di kota, saya justru ditinggal pergi massa, hahaha lucu, korlapnya
teriak-teriak sendiri. Menjelang semester atas, aku mulai diundang untuk
mengisi acara, bersama-sama mengobrolkan tema-tema penting. Tak hanya
teman-teman dari kalangan pers, tapi juga dari kalangan gerakan mahasiswa. Ah,
itu memori saat jadi mahasiswa. Aku tak mau terlalu panjang mengisahkannya.
Rabu, 12 november 2014 adalah hari yang menyenangkan bagiku. Aku mengobrol
dengan ibu penjual buku di Gladag. Dulu aku punya hutang 85, cukup lama belum
kubayar karena tak sempat aku kesana, tapi kini aku senang punya hari rabu
untuk menyambanginya, menyentuhi buku-bukunya dan membelinya kembali. Ibu ini
selalu ramah dan senyum padaku, ia selalu menawarkan buku-buku yang menurutnya
bagus untukku. Pagi itu, ibu penjual buku belum dating, aku melihat suaminya
menata buku dan mengeluarkannya. Ia hanya berkata sambil senyum : “ mruput men
Rip” (Pagi benar Rif…), iya pak, iki aku ngajare awan (aku ngajar anak-anaknya
siang).
Selama hampir setengah jam aku memilih-milih tumpukan buku di kiosnya. Aku
beruntung sekali dapat buku-buku anak lagi yang langka-langka. Aku dapat buku
sekitar sepuluhan buku, totalnya aku habis 60 ribu, harga yang murah meriah.
Sebelum aku pulang ibu pemilik kios datang, aku pun dengan senang hati ngomong
padanya : “Bu, ninggal dulu ya dua pulu ribu” (alias utang dulu 20 ribu). Dan
ibu seperti biasanya, ya gakpapa Rif, kok kamu sekarang banyak membaca buku
tentang anak?. Iya bu, ini saya lagi belajar tentang anak. Saya memang bertekad
membuat buku yang mengulas pendidikan, anak, juga remaja sampai dewasa. Aku
terkadang jengkel dan risih mendengar komentar professor,doctor, atau komnas
anak komentar anak, tapi aku belum tahu dan mendengar karyanya. Aku sering
bilang ke temanku, aku berharap bisa menyelesaikan magnum opus tentang “ANAK”.
Disana aku mendapat buku bagus karangan tokoh Jesuit. Aneh, yang mengarang
buku-buku semacam ini yang sering saya temui justru para Serikat Jesuit.
Barangkali Serikat Jesuit juga menemukan banyak orang (pemuda-pemudi) masa kini
yang memiliki banyak masalah. Buku itu berjudul : 60 Cara Pengembangan Diri(1986),
karya Martha Mary McGaw,CSJ. Aku jadi teringat Romo Magniz, belum lama ini saya
juga membaca karya murid-muridnya yang mengisahkan gurunya itu di buku Sesudah
Filsafat terbitan kanisius pula. Saya sering membicarakan ini dengan teman
saya, mengapa orang-orang katolik begitu maju dalam urusan mengembangkan
filsafat. Saya pikir umat islam juga perlu mengkaji kembali khazanah Islam dan
kajian filsafat Islam lebih dalam. Sebab di tahun 50-an saya sering menemui buku
lawas bertajuk filsafat islam dan pelbagai cerita kemajuan islam di masa lampau
dikarang oleh orang-orang Indonesia seperti Hamka, Sidi Gazalba, Sayyed Hussein
Nashr, Sayyed Qutb, Ali shariati dan para penulis lain yang menulis soal
filsafat Islam. Kini yang sering aku temui justru Qomaruddin Hidayat yang
menulis buku islam kontemporer, berbau remaja, renyah dan enak. Saya pikir
Qomarudin Hidayat adalah salah satu tokoh penting yang mengembangkan gaya
berbicara islam popular di kalangan generasi muda. Buku-bukunya kini
diterbitkan oleh Noura Book sebut saja buku Psikologi Kematian, Ungkapan
Hikmah. Bagiku buku bang Komarudin ini tak sekadar motivasi picisan, tapi
sekadar jadi bacaan untuk mengusik generasi muda untuk menyadari posisi dan
mengatasi dari persoalan psikologis mereka, untuk merenungi hidup lebih hidup.
Hal itu pula yang saya temui di buku 60 cara Pengembangan Diri . Hidup
kita tulis Martha penulis buku ini, bukanlah tiruan manusia lain, maka kita
adalah kita. Jadilah diri sendiri, itu hal yang pertama ditulis untuk
mengembangkan diri. Setidaknya, meski kita tahu dan belajar kepada banyak
orang, kita tak berubah dan merubah siapa diri kita. Yang khas dari buku ini
adalah cara dia menyajikan renungan kecil, singkat dan padat tentang kehidupan
yang pernah dijalani penulis dan pembacaan penulis agar menjadi pribadi yang
berarti dalam hidup. Misalnya dalam urusan persahabatan, untuk mengembangkan
diri, kita memerlukan sahabat sebagai tempat kita untuk menuangkan keluh kesah
dan membantu kesusahan kita dalam hidup. Ia menuliskan bahwa ada tiga hal utama
dalam membangun persahabatan : Iman, Harapan dan Cinta. Tanpa ini persahabatan
lebih merupakan sesuatu yang singkat dan tak kekal. Hal lain adalah saran
menanam pohon, membuat pohon keluarga dan membuat buku harian dan menulis surat
untuk sahabat kita. Saya menemukan satu paragraf penting tentang membaca. Salah
satu cara mengembangkan diri di buku ini ditulis adalah membaca. “Pada waktu
kita membaca kita menemukan apa arti hidup ini bagi orang lain. Kita ikut
mengambil bagian dalam pengetahuan dan pandangan hidup orang lain. Kita dapat
mengetahui banyak hal yang kita ingin ketahui” (36).
Mengembangkan diri tak hanya memerlukan membaca ternyata, agar fisik dan tubuh
kita sehat, serta jiwa kita sehat kita memerlukan bernyanyi. Kadang orang
sering menganggap menyanyi adalah hal gila. Menurut buku ini, menyanyi
merupakan cara kita menjadi berkembang. “kita tidak pernah akan tahu berapa
jumlah lagu yang kita kuasai sebelum kita nyanyikan untuk “seluruh dunia”.
Selain itu, bernyanyi juga membuat kita awet muda dan mempercepat perubahan
sel-sel tubuh kita bila kita bahagia. Di akhir buku ini saya justru
terkaget-kaget, penulis meski dari Serikat Jesuit justru menempatkan urusan
Tuhan di bagian akhir. Penulis berpesan agar kita berkembang, kita harus
menghormati Tuhan. “Sang pencipta kita sungguh mengagumkan, imajinatif,
menarik, hidup dan fantastis dan penuh cinta”. Bagiku kalimat ini seperti
semacam kata kunci sekaligus penutup bahwa bagi seorang yang beriman, Tuhan
adalah kunci sekaligus penentu. Aku menyelesaikan buku ini di sela-sela
menunggu antrian nabung di bank untuk ambil uang di ATM. Duitku menipis,
tinggal 63 ribu di ATM, sehingga tak bisa diambil, untuk ambil uang 50 ribuan,
aku perlu menambahkan saldo sampai minimal 70 ribu. Agar bersisa 20 ribu di
ATM. Aku puas menunggu antrian sampai aku lupa kalau nomer panggilanku 144,
ternyata yang aku bawa nomer 141. Efek baca buku terlalu khusyuk kadang
mengganggu, bisa membuat kita sedikit terlihat pikun, hehe. Buku seperti ini
penting ditulis, sebab jaman sekarang orang memerlukan bacaan santai, sekaligus
membuat mereka menjadi makhluk yang sadar dan kembali terketuk, bahwa peran
mereka ada, dan mereka ada untuk berperan. Buku 60 cara Pengembangan diri garapan
Martha Mary Mc Gaw,CSJ ini membuat gairah saya untuk menulis buku serupa
berdasarkan pengalaman saya sendiri.
*) Penulis adalah Pengelola www.doeniaboekoe.blogspot.com
No comments:
Post a Comment