klik disini untuk dapatkan dollar secara gratis!

Sunday 23 November 2014

Etnomusikologi




Lewat buku ini, saya tak hanya berkenalan dengan etnomusikologi, tapi juga merasa tersentak, mengapa belum banyak lahir peneliti Indonesia yang menuliskan karya tentang musiknya sendiri. Buku Shin Nakagawa tak sekadar mengantarkan kita kepada ilmu etnomusikologi, tetapi juga membuka kesadaran kita akan kepekaan telinga kita terhadap bunyi dan suara di lingkungan kita



Oleh Arif Saifudin Yudistira*)

          Sore itu menjadi sore yang melelahkan (22/11/14). Setelah mampir ke angkringan makan beberapa gorengan dan minum es teh, saya akhirnya pulang, apa boleh buat, perut yang lapar mesti ditahan, nasi goreng sekitar 10 ribuan harganya, saya tak mampu beli, uang saya tinggal 5 ribu rupiah. Setelah makan di rumah, saya pun menuliskan tulisan singkat dari buku yang say abaca. Dan beberapa hari ini saya bercakap kepada satpam, kepada teman-teman guru, tentang kenaikan BBM, kenaikan BBM memang membuat saya bertambah porsi pengeluarannya. Tapi saya tak bercerita banyak tentang BBM, saya hanya akan membagi sedikit pembacaan saya terhadap buku karya Prof.Shin Nakagawa (2000). Buku ini semula saya temukan ditumpukan fotokopian di langganan saya di Jogja. Saya memang bukan seorang mahasiswa ISI, saya juga bukan peneliti musik, tapi saya tertarik tentang music. Sampul buku semula memikat dan saya membuka-buka isinya, saya catat judul buku di hand-phone saya untuk saya masukkan dalam daftar belanja buku bulan depan, waktu itu aku ke Jogja bulan Oktober,dan bulan November saya berhasil memperoleh buku ini. Ada pernyataan menyentak yang menurut saya bukan hanya meremehkan, tetapi lebih dari kritik keras kepada para peneliti music Indonesia. Baiklah saya kutip kalimat Prof.Nakagawa : “Gamelan bukan hanya sarana pertunjukan saja, akan tetapi juga merupakan bagian kehidupan masyarakat Jawa yang didalamnya terdapat konsep kosmologi serta konsep kehidupan lainnya, meskipun hal ini tidak disadari masyarakat Jawa” (h.145). Kata ‘meskipun hal ini tidak disadari masyarakat Jawa’ seolah Nakagawa menyindir, dan merasakan belum ada peneliti tentang music jawa utamanya yang mencoba menafsir lebih jauh hubungan music dengan kosmos.
          Saya memang belum menemukan dan belum membaca peneliti musik dari Indonesia khususnya music Jawa yang meneliti music gamelan khususnya. Barangkali saya juga akan bertanya-tanya ada penulis solo yang sering menggunakan nickname pengajar etnomusikolog di ISI Surakarta. Saya mengenalnya sebagai penulis, melalui tulisannya, tapi saya juga belum mendengar karyanya tentang music gamelan. Mungkin dia juga pernah membaca buku Musik dan Kosmos; sebuah pengantar etnomusikologi karya Shin Nakagawa ini. Buku ini berasal dari pengalaman intimnya dengan music Jawa yang semula asing dan tak menyenangkan baginya, dan pada akhirnya menjadi music yang menyenangkan, dan menenteramkan hati baginya. Ia pun meneliti tari bedaya yang menurutnya berhubungan intim dengan urusan kosmologi yang berkaitan dengan dunia manusia dan alam. Tari bedaya memiliki banyak cerita asalmulanya, meski demikian, tari bedaya menggambarkan tubuh manusia. Kesembilan formasi penari menggambarkan bagian tubuh manusia dari kepala sampai kaki. Di buku pengantar etnomusikologi ini, Shin Nakagawa membeberkan bagaimana kontak kebudayaan bisa bertemu melalui music. Melalui music, kita bisa saling memahami, saling mengerti dan saling bertemu. Saya kadang punya keinginan untuk bisa bermain music, setidaknya music gamelan, sayang paska masa kecil saya terlewat begitu saja, desa saya tak lagi memiliki gamelan yang dulu dimiliki salah satu warga. Keinginan itu pun kini tinggal keinginan, ditengah kesibukan bermain dan belajar bersama murid-murid SD. Shin Nakagawa bukan sekadar datang dan mengilhami music gamelan di Indonesia. Ia pun menulis pandangannya tentang teori soundscape. Soundcape berasal dari dua kata, yakni sound artinya suara (bunyi) sedangkan scape singkatan dari landscape artinya pemandangan. Jadi soundscape artinya pemandangan yang berupa suara atau bunyi. Istilah ini muncul dari renungan seorang komponis Kanada, Murray Schafer dalam bukunya “Ear Cleaning” (1967). Teori ini muncul karena beberapa permasalahan yakni permasalahan teknologi. Teknologi ternyata ikut menyumbangkan polusi bunyi. Melalui teori soundscape kita bisa belajar lebih banyak tentang bagaimana mengembalikan indra kita secara murni. Mengenai soundscape ini, Shin Nakagawa menulis :“Dalam perkembangan teknologi muncul masalah, kemampuan telinga manusia makin lama semakin lemah karena hal itu. Dengan melihat pola kehidupan manusia sebelumnya, telinga kita sekarang menjadi tumpul,masalah ini muncul baru-baru ini saja, karena semakin kuno kehidupan manusia semakin banyak tergantung pada panca indera manusia pada zaman dahulu. Bukan indra telinga kita saja, tetapi juga indra yang lain ;misalnya mata,hidung, dan lain-lain yang bekerja keras agar manusia hidup tanpa gangguan (h. 109). Kita harus sadar bahwa lingkungan kehidupan kita dibentuk atau ditentukan oleh kesadaran kita dalam menggunakan lima indra yang kita punyai. Lingkungan polusi bunyi merupakan akibat dari sikap kita yang kurang peduli terhadap sumber bunyi di lingkungan kita. (h.110). Tujuan diciptakan ilmu soundscape yang paling utama adalah mengenal dunia ini (lingkungan dunia) melalui indra telinga dan membuat suara lingkungan lebih baik (h.135).
          Melalui buku ini, Shin Nakagawa mengurai bagaimana kemudian music bisa menjadi penghubung dan sarana untuk memperkenalkan kebudayaan dan menjalankan interaksi kebudayaan. Dengan music, pemahaman kebudayaan dari satu Negara ke Negara lain akan lebih mempermudah. Dan dengan music, kita akan mengerti dan lebih merasakan kebudayaan dari Negara lain akan terasa lebih dekat sebagaimana yang dialami oleh Shin Nakagawa. Melalui buku ini, kita bisa lebih memahami budaya Jawa dari sisi yang lain, meskipun secara keras ia mengkritik minimnya penulis Indonesia khususnya Jawa yang meneliti musiknya sendiri. Lewat buku ini, saya tak hanya berkenalan dengan etnomusikologi, tapi juga merasa tersentak, mengapa belum banyak lahir peneliti Indonesia yang menuliskan karya tentang musiknya sendiri. Buku Shin Nakagawa tak sekadar mengantarkan kita kepada ilmu etnomusikologi, tetapi juga membuka kesadaran kita akan kepekaan telinga kita terhadap bunyi dan suara di lingkungan kita. Karena itulah, Shin Nakagawa menyimpulkan : Telinga (perasaan) yang peka dapat mencari suara dalam, yaitu suara yang tidak bisa didengarkan dengan cara biasa . Apabila kita mempunyai kemampuan demikian, kita bisa mendengarkan tidak hanya suara ingatan dan imajinatif saja, akan tetapi juga suara dalam yaitu suara yang tidak berbunyi (h.125). 




 

No comments:

Post a Comment