Lewat buku ini, saya tak hanya berkenalan dengan etnomusikologi, tapi juga merasa tersentak, mengapa belum banyak lahir peneliti Indonesia yang menuliskan karya tentang musiknya sendiri. Buku Shin Nakagawa tak sekadar mengantarkan kita kepada ilmu etnomusikologi, tetapi juga membuka kesadaran kita akan kepekaan telinga kita terhadap bunyi dan suara di lingkungan kita
Oleh
Arif Saifudin Yudistira*)
Sore itu menjadi sore yang melelahkan
(22/11/14). Setelah mampir ke angkringan makan beberapa gorengan dan minum es
teh, saya akhirnya pulang, apa boleh buat, perut yang lapar mesti ditahan, nasi
goreng sekitar 10 ribuan harganya, saya tak mampu beli, uang saya tinggal 5
ribu rupiah. Setelah makan di rumah, saya pun menuliskan tulisan singkat dari
buku yang say abaca. Dan beberapa hari ini saya bercakap kepada satpam, kepada
teman-teman guru, tentang kenaikan BBM, kenaikan BBM memang membuat saya
bertambah porsi pengeluarannya. Tapi saya tak bercerita banyak tentang BBM,
saya hanya akan membagi sedikit pembacaan saya terhadap buku karya Prof.Shin
Nakagawa (2000). Buku ini semula saya temukan ditumpukan fotokopian di
langganan saya di Jogja. Saya memang bukan seorang mahasiswa ISI, saya juga
bukan peneliti musik, tapi saya tertarik tentang music. Sampul buku semula
memikat dan saya membuka-buka isinya, saya catat judul buku di hand-phone saya untuk saya masukkan dalam
daftar belanja buku bulan depan, waktu itu aku ke Jogja bulan Oktober,dan bulan
November saya berhasil memperoleh buku ini. Ada pernyataan menyentak yang
menurut saya bukan hanya meremehkan, tetapi lebih dari kritik keras kepada para
peneliti music Indonesia. Baiklah saya kutip kalimat Prof.Nakagawa : “Gamelan
bukan hanya sarana pertunjukan saja, akan tetapi juga merupakan bagian
kehidupan masyarakat Jawa yang didalamnya terdapat konsep kosmologi serta
konsep kehidupan lainnya, meskipun hal ini tidak disadari masyarakat Jawa”
(h.145). Kata ‘meskipun hal ini tidak disadari masyarakat Jawa’ seolah Nakagawa
menyindir, dan merasakan belum ada peneliti tentang music jawa utamanya yang
mencoba menafsir lebih jauh hubungan music dengan kosmos.
Saya memang belum menemukan dan belum
membaca peneliti musik dari Indonesia khususnya music Jawa yang meneliti music gamelan
khususnya. Barangkali saya juga akan bertanya-tanya ada penulis solo yang
sering menggunakan nickname pengajar
etnomusikolog di ISI Surakarta. Saya mengenalnya sebagai penulis, melalui
tulisannya, tapi saya juga belum mendengar karyanya tentang music gamelan.
Mungkin dia juga pernah membaca buku Musik
dan Kosmos; sebuah pengantar etnomusikologi karya Shin Nakagawa ini. Buku
ini berasal dari pengalaman intimnya dengan music Jawa yang semula asing dan
tak menyenangkan baginya, dan pada akhirnya menjadi music yang menyenangkan,
dan menenteramkan hati baginya. Ia pun meneliti tari bedaya yang menurutnya
berhubungan intim dengan urusan kosmologi yang berkaitan dengan dunia manusia
dan alam. Tari bedaya memiliki banyak cerita asalmulanya, meski demikian, tari
bedaya menggambarkan tubuh manusia. Kesembilan formasi penari menggambarkan
bagian tubuh manusia dari kepala sampai kaki. Di buku pengantar etnomusikologi
ini, Shin Nakagawa membeberkan bagaimana kontak kebudayaan bisa bertemu melalui
music. Melalui music, kita bisa saling memahami, saling mengerti dan saling
bertemu. Saya kadang punya keinginan untuk bisa bermain music, setidaknya music
gamelan, sayang paska masa kecil saya terlewat begitu saja, desa saya tak lagi
memiliki gamelan yang dulu dimiliki salah satu warga. Keinginan itu pun kini
tinggal keinginan, ditengah kesibukan bermain dan belajar bersama murid-murid
SD. Shin Nakagawa bukan sekadar datang dan mengilhami music gamelan di
Indonesia. Ia pun menulis pandangannya tentang teori soundscape. Soundcape berasal dari dua kata, yakni sound artinya
suara (bunyi) sedangkan scape singkatan dari
landscape artinya pemandangan. Jadi
soundscape artinya pemandangan yang berupa suara atau bunyi. Istilah ini
muncul dari renungan seorang komponis Kanada, Murray Schafer dalam bukunya “Ear
Cleaning” (1967). Teori ini muncul karena beberapa permasalahan yakni
permasalahan teknologi. Teknologi ternyata ikut menyumbangkan polusi bunyi.
Melalui teori soundscape kita bisa
belajar lebih banyak tentang bagaimana mengembalikan indra kita secara murni.
Mengenai soundscape ini, Shin
Nakagawa menulis :“Dalam perkembangan teknologi muncul masalah, kemampuan
telinga manusia makin lama semakin lemah karena hal itu. Dengan melihat pola
kehidupan manusia sebelumnya, telinga kita sekarang menjadi tumpul,masalah ini
muncul baru-baru ini saja, karena semakin kuno kehidupan manusia semakin banyak
tergantung pada panca indera manusia pada zaman dahulu. Bukan indra telinga
kita saja, tetapi juga indra yang lain ;misalnya mata,hidung, dan lain-lain
yang bekerja keras agar manusia hidup tanpa gangguan (h. 109). Kita harus sadar
bahwa lingkungan kehidupan kita dibentuk atau ditentukan oleh kesadaran kita
dalam menggunakan lima indra yang kita punyai. Lingkungan polusi bunyi
merupakan akibat dari sikap kita yang kurang peduli terhadap sumber bunyi di
lingkungan kita. (h.110). Tujuan diciptakan ilmu soundscape yang paling utama adalah mengenal dunia ini (lingkungan
dunia) melalui indra telinga dan membuat suara lingkungan lebih baik (h.135).
Melalui buku ini, Shin Nakagawa
mengurai bagaimana kemudian music bisa menjadi penghubung dan sarana untuk
memperkenalkan kebudayaan dan menjalankan interaksi kebudayaan. Dengan music,
pemahaman kebudayaan dari satu Negara ke Negara lain akan lebih mempermudah.
Dan dengan music, kita akan mengerti dan lebih merasakan kebudayaan dari Negara
lain akan terasa lebih dekat sebagaimana yang dialami oleh Shin Nakagawa.
Melalui buku ini, kita bisa lebih memahami budaya Jawa dari sisi yang lain,
meskipun secara keras ia mengkritik minimnya penulis Indonesia khususnya Jawa
yang meneliti musiknya sendiri. Lewat buku ini, saya tak hanya berkenalan
dengan etnomusikologi, tapi juga merasa tersentak, mengapa belum banyak lahir
peneliti Indonesia yang menuliskan karya tentang musiknya sendiri. Buku Shin
Nakagawa tak sekadar mengantarkan kita kepada ilmu etnomusikologi, tetapi juga
membuka kesadaran kita akan kepekaan telinga kita terhadap bunyi dan suara di
lingkungan kita. Karena itulah, Shin Nakagawa menyimpulkan : Telinga (perasaan)
yang peka dapat mencari suara dalam, yaitu suara yang tidak bisa didengarkan
dengan cara biasa . Apabila kita mempunyai kemampuan demikian, kita bisa
mendengarkan tidak hanya suara ingatan dan imajinatif saja, akan tetapi juga suara
dalam yaitu suara yang tidak berbunyi (h.125).
*) Pengelola www.doeniaboekoe.blogspot.com
No comments:
Post a Comment