Judul Buku : Seperti Sungai Yang Mengalir
Penulis :Paulo Coelho
Tahun : 2013
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
ISBN : 978-979-22-8156-9
Oleh Arif Saifudin Yudistira*)
Coelho memang ampuh!. Ia tak mencoba menggurui kita dengan kata-kata mutiara atau petilan kata bijak dari buku-buku yang pernah ia baca. Ia mencatat saat-saat ketenaran, saat-saat kepedihan, dan saat-saat menegangkan dalam kehidupan seorang penulis. Kehidupan seorang penulis tentu sangat memiliki karakteristik dengan dunia disekitarnya
Coelho memberi pengakuan bahwa dia memiliki dunia
yang berbeda-beda, saat dia benar-benar sendirian, saat-saat dia bersama
kawan-kawan dan koleganya, dan saat-saat dia bersama isterinya. Dunia penulis
adalah dunia yang tak bisa dikatakan sebagai dunia yang penuh dengan individualistis.
Sebagaimana kritik pengarang ampuh sekaligus filosof Michael Foucault yang
mengatakan : Lahirnya konsep pengarang
adalah saat yang istimewa bagi terjadinya individualisasi di dalam sejarah ide,
ilmu pengetahuan, kesusasteraan, filsafat, dan lain-lain (Heraty,2000:219).
Bila Foucault menganggap urusan pengarang adalah perkara individual, maka tidak
yang dilakukan Coelho. Ia menuliskan
kisah-kisah perjalanannya, ia mengisahkan orang-orang yang ada dalam
kehidupannya, hingga kisah seorang yang mati tanpa penyebab kematiannya, hingga
kematian yang penuh dengan kesendirian, yang ia anggap sebagai pelajaran
penting mengingat mati. Coelho tak tanggung-tanggung, ia juga belajar dari
peristiwa-peristiwa yang kecil, tapi memiliki makna. Di dalam buku
Seperti Sungai Yang Mengalir ini Coelho memang mengajak kita berenang
keliling dunia imajinasi dan dunia yang ia alami. Bisa disebut imajinatif
karena kita tak merasakan langsung apa yang dikatakan Coelho, tapi kita bisa
menikmati cerita dan kisah-kisah ini sebagai bagian dari kekayaan spiritual dan
batiniah. Perjalanannya menjadi penulis itulah yang kemudian membawanya
berkeliling dunia dan membagikan kisah spiritualnya kepada kita. Penulis,
sebagaimana Coelho katakan mengutip Bertold Brecht : “ Membuat saya ke banyak
tempat dan membuat saya berpindah Negara lebih sering daripada saya berganti
sepatu”. Dari perjalanannya ke berbagai tempat dan penjuru dunia itulah, Coelho
meyakini, ada yang mesti disampaikan dan dikatakan oleh seorang penulis. Penulis
bak seorang dermawan, ia membagi kata-kata dan tulisan, dan hikmah kehidupan
ini.
Pensil Coelho
Coelho seperti berada
dalam tahap kesadaran penuh sebagai penulis. Berbuat untuk dunia yang lebih
baik adalah salah satu upaya yang ingin ia capai. Pencapaian itu tidak hanya ia
lakukan dengan menulis dan membagi kisah kehidupan agar kehidupan memiliki
makna, tapi lebih dari itu, ia melakukan kerja sosial bagi masyarakat Brasil
yang kekurangan. Filosofi tentang pena, atau pensil yang ada dalam cerita tentang pensil telah diilhami
betul oleh penulisnya. Pertama, Coelho benar-benar menyadari ada tangan Tuhan
yang membantunya untuk menulis, Kedua, Coelho sadar ia mesti membawa rautan
untuk mempertajam pensilnya, ia mesti menahan derita dan kesakitan sebagai seorang
penulis. Ketiga, sebagai seorang penulis ia menyadari ada kesalahan yang mesti
dihapus dan dibetulkan dalam tindakannya sehari-hari. Keempat, sebagaimana
grafit dalam pensil, Coelho memahami, bahwa setiap penulis belum tentu benar
dalam tindakannya. Dan terakhir, sebagaimana pensil yang meninggalkan jejak dan
bekas, maka sebagai penulis ia mesti menyadari setiap tindakan dan apa yang ia
tuliskan. Melalui buku Seperti Sungai
Yang Mengalir inilah, kita diajak untuk mengenali dunia Coelho melebihi apa
yang ada dalam novel dan karya-karya Coelho. Coelho mengajak kita pada
kejujuran, kepada harapan, kepada cerita dan ingatan tentang kematian dan arti
hidup. Ia belajar dari Genghis Khan, ia belajar dari Pablo Picasso, dan apa
yang ia temui di dalam kehidupannya termasuk belajar kepada pembacanya tentang
arti pertemuan. Saya jadi teringat ungkapan seorang Esais cum Penyair Sithok
Srengenge, ia pernah menulis dalam bukunya Cinta
di Negeri Satu Tiran Kecil (2012) : “ Dalam sebuah gambar terdapat ribuan
kata. Dalam sebuah kata terangkum dunia”. Itulah yang sebenarnya ingin dicapai
Coelho. Ia ingin memotret, mencatat, dan mencoba merangkum dunia yang pernah ia
jalani dalam buku ini.
Kita akan
menemukan sentuhan, ajakan, tapi tak luput juga kejujuran akan prinsip-prinsip
pribadi yang tak bisa ia tinggalkan termasuk urusan kepercayaan dan jalan
menuju surga. Tapi disisi lain, ia pun tak menolak untuk mengakui dan belajar
dari kebijaksanaan dan keagungan dari agama lain yang tentu dapat kita petik
pelajaran dan hikmahnya. Sebagaimana perjalanan yang ia lakukan selama ini, ia
seolah tak ingin kelewatan untuk menuliskannya dan menjadikannya pelajaran dan
inspirasi bagi kita. Sebut saja salah satu tulisan Coelho tentang keanehan manusia. Manusia memiliki sifat
aneh, diantaranya “ia begitu ingin dewasa ketika kecil, tapi setelah dewasa ia
menjadi begitu kekanak-kenakan, manusia mencari uang sampai sakit-sakitan, tapi
kemudian menghabiskannya untuk berobat, manusia begitu cemas memikirkan masa
depan hingga mengabaikan masa kini. Manusia hidup seolah kematih dewasa ia
menjadi begitu kekanak-kenakan, manusia mencari uang sampai sakit-sakitan, tapi
kemudian menghabiskannya untuk berobat, manusia begitu cemas memikirkan masa
depan hingga mengabaikan masa kini. Manusia hidup seolah kematian tidak
berkuasa padanya, dan manusia mati seolah manusia tak pernah menjalani hidup”. Seperti Sungai Yang Mengalir, memang bukan buku
filsafat, tapi ajakan untuk mendalami hidup dari segi falsafati justru akan
kita temukan disana melalui kisah-kisah sederhana, renungan, hingga perjalanan
yang pernah Coelho alami. Selamat menyelami sungai pengetahuan dan
kebijaksanaan bersama kisah-kisah dalam buku ini.
*)Peresensi adalah
Santri di Bilik Literasi SOLO, Pengasuh di MIM Kartasura
*) Dimuat di SOLO POS
No comments:
Post a Comment