klik disini untuk dapatkan dollar secara gratis!

Monday 21 July 2014

Puisi Dari Sepotong Episode Yang Terpecah


Arif saifudin yudistira*)


 Dengan metafora yang jeli dan puisi-puisinya yang singkat inilah, sebenarnya penyair menahan nafasnya yang sebetulnya panjang. Tapi penyair memilih untuk membawa pesan dalam puisinya. Melalui pesan-pesan itulah, penyair menghampiri kita dengan sajak-sajaknya yang pendek dan ciamik ini.            
Puisi hadir bersama penyair. Meski tak bisa dinafikkan dalil Barthes pengarang telah mati setelah ia mencipta karya. Barangkali kematian itu tak bisa dipandang utuh. Pengarang tetap memiliki keterpautan antara karya dan dirinya. Keterpautan itu bisa saja berwujud proses kreatif, kehidupan pengarang, sampai pada dunia yang ada di sekitar pengarang. Puisi, selalu saja menggoda dalam warisan sastra Indonesia. Gairah sastra barangkali ramai oleh cerpen, novel, tapi tak ramai oleh puisi. Puisi tak seramai karya sastra lainnya. Mungkin, puisi adalah makhluk yang hidup dalam dunia asing dan terasing sebagaimana para penyair.Bila menilik kata Sartre tugas pengarang adalah menjernihkan kata-kata yang sudah dikotori oleh para politisi, barangkali termasuk puisi. Puisi menyentuh dengan cara lain. Ada keindahan, keindahan itulah yang membuat kita tersentuh oleh imbauan, ajakan, atau sekadar jeda yang tak seberapa untuk sejenak memikirkan sesuatu. Bisa alam, manusia maupun kejadian. Maka tak heran Goenawan Mohammad pun mengatakan bahwa orang yang tak memiliki kepekaan ia cenderung menganggap rumput itu hanya cadangan untuk esok hari. Uraian Goenawan Mohamamad itu tak berlaku bagi penyair. Disanalah penyair menyeru, dan puisi menyuarakan suara lain sebagaimana ungkapan Oktavio Paz.
Melalui Puisi-Puisi Sekejap(2013)mengalunkan keterpecahannya pelan-pelan. Aku terbentuk di rumah kata/namun disitu aku tak bisa berkata /saat tersapa(Rumah). Dalam puisi ini penyair seolah menjelaskan bahwa imajinasi penyair hidup di dalam rumah, ia berada dalam kosmologi yang sebenarnya membawa metafora rumah kata dengan pengertian rumah dalam arti fisik, atau keluarga. Ia si penyair memang pecah, saat di rumah, saat dirumah itulah, imajinasi hidup sehidup-hidupnya, tapi bisa jadi begitu tak berdaya ketika rumah kata bertemu dengan rumah dalam arti keluarga. Maka ditutup dengan kata-kata  yang apik. Namun disitu, aku tak bisa berkata/Saat tersapa. Simak saja sajak yang berjudul Rumah : sebongkah ruang menyimpan gelisah/yang selalu membungkus tubuhmu. Kehidupan penyair seperti diungkap dalam buku puisi ini. Sebagaimana pengakuan yang ada di awal buku ini. Mereka merupakan bagian dari konstruksi si penulis. Seolah melalui senja, malam, catatan, dan pagi penyair ingin membagi ada cerita yang tak bisa kita biarkan saja. Ada peristiwa dari keseharian kita yang tak bisa kita lewatkan begitu saja.
            Maka tak heran, puisi ini seperti merangkul apa yang ada di buku ini. Catatan pagi 3 :Hampir dua puluh tahun lebih/ dan diantaranya terkelilingi abjad-abjad/ aku tak mau lagi menghilangkan peristiwa. Sekilas puisi ini mirip testimony atau pengakuan penyair bahwa ia memang tak mau menghilangkan peristiwa. Tapi bila kita lihat puisi lain yang memiliki tautan dengan puisi diatas maka kita akan merasakan ajakan ke pembaca untuk tak menghilangkan peristiwa yang datang kepada kita dalam keseharian kita. Pada puisinya catatan pagi 4 : Kenangan menggenang/ diantara lautan manusia/ abai. Pagi, seolah tak hanya digambarkan dengan kasat dengan peristiwa, penyair memilih kata kenangan dengan jeli. Peristiwa keseharian sepertinya sudah diabaikan oleh kebanyakan orang sehingga kenangan atau semacam memori jadi tak berfungsi. Di puisi berikutnya yang menjelaskan peristiwa yang diabaikan itu ada di Puisi Selembar Koran: Namun, apa yang ia ceritakan/ hanya menjadi pencuci mulut. Seperti itulah gambaran koran yang ada di pembaca maupun di balik peristiwa disana, peristiwa ada hanya mampir belaka. Dengan metafora yang jeli dan puisi-puisinya yang singkat inilah, sebenarnya penyair menahan nafasnya yang sebetulnya panjang. Tapi penyair memilih untuk membawa pesan dalam puisinya. Melalui pesan-pesan itulah, penyair menghampiri kita dengan sajak-sajaknya yang pendek dan ciamik ini. Tapi bila kita lihat lebih jauh, tak sekadar peristiwa yang jadi ruh dalam puisi ini. Puisi Sekejap  ini tetap tak mampu menyembunyikan bagaimana pengarang pecah dan tak karuan baik berhadapan dengan peristiwa maupun menghadapi rumah.
            Simaklah keterpecahan penyair ketika ia memasuki dunia yang kita namai “kampus“. Dunia kampus terkadang membawa ke trauma, traumatik yang tak terpendam itulah, ia hadirkan melalui puisi. Cetakan :Selama ini aku tercetak oleh tiga ratus enam puluh lima hari kali empat /selama itu /sunyi justru menyekap birahiku berkata.../Dan temanku menyapa, sudah jam kesekian kita terseret kata. Memang tak ada kaitan diksi yang berbau kampus, tapi penanda waktu memberikan beberan yang jelas bahwa studi 4 tahun itu seperti tak menghasilkan gairah kata. Gairah kata justru dicipta ketika penyair lepas dari kampus, dengan menutup puisinya. Sudah jam kesekian kita terseret kata. Buku kumpulan Puisi Sekejap ini memang lahir dari keterpecahan pengarang yang memberikan keterpecahannya melalui sajak-sajaknya yang singkat dan ringkas. Puisi-puisi ini seperti sapaan, sentuhan, tapi tak lekas usai. Sebab ia seperti keseharian kita yang ada dalam buku harian. Sampai kapankah malam akan sampai kepada diary ke 100 atau tak menggunakan angka?, barangkali keliaran imajinasi dan metafora penyair masih berpatok pada  waktu yang merujuk pada hari, jam, dan tahun. Sehingga keterpecahan itu begitu sederhana dan lekas bisa kita baca.Ini pula yang merupakan keunggulan penyair,ia tak mau tergoda memusingkan pembaca, atau membuat pembaca takjub. Ia hanya ingin pembaca singgah sebentar, dan memunguti sajak-sajaknya. Melalui diksi-diksi yang akrab dengan keseharian. Catatan Senja, Catatan Pagi, Catatan Malam, Rumah, Percakapan. Melalui keterpecahan itulah, sebenarnya puisi tidak ingin seperti penyairnya yang pecah, tapi puisi justru membuat episode dan jeda diantara puing-puing keterpecahannya itu.          
                       

*) Pegiat di Bilik Literasi SOLO, Buku Puisinya Hujan di Tepian Tubuh, Pengelola www.doeniaboekoe.blogspot.com



No comments:

Post a Comment