Arif
saifudin yudistira*)
Dengan metafora yang jeli dan puisi-puisinya yang singkat inilah, sebenarnya penyair menahan nafasnya yang sebetulnya panjang. Tapi penyair memilih untuk membawa pesan dalam puisinya. Melalui pesan-pesan itulah, penyair menghampiri kita dengan sajak-sajaknya yang pendek dan ciamik ini.
Puisi
hadir bersama penyair. Meski tak bisa dinafikkan dalil Barthes pengarang telah
mati setelah ia mencipta karya. Barangkali kematian itu tak bisa dipandang
utuh. Pengarang tetap memiliki keterpautan antara karya dan dirinya.
Keterpautan itu bisa saja berwujud proses kreatif, kehidupan pengarang, sampai
pada dunia yang ada di sekitar pengarang. Puisi, selalu saja menggoda dalam
warisan sastra Indonesia. Gairah sastra barangkali ramai oleh cerpen, novel,
tapi tak ramai oleh puisi. Puisi tak seramai karya sastra lainnya. Mungkin,
puisi adalah makhluk yang hidup dalam dunia asing dan terasing sebagaimana para
penyair.Bila menilik kata Sartre tugas pengarang
adalah menjernihkan kata-kata yang sudah dikotori oleh para politisi,
barangkali termasuk puisi. Puisi menyentuh dengan cara lain. Ada keindahan,
keindahan itulah yang membuat kita tersentuh oleh imbauan, ajakan, atau sekadar
jeda yang tak seberapa untuk sejenak memikirkan sesuatu. Bisa alam, manusia
maupun kejadian. Maka tak heran Goenawan Mohammad pun mengatakan bahwa orang
yang tak memiliki kepekaan ia cenderung menganggap rumput itu hanya cadangan
untuk esok hari. Uraian Goenawan Mohamamad itu tak berlaku bagi penyair.
Disanalah penyair menyeru, dan puisi menyuarakan suara lain sebagaimana
ungkapan Oktavio Paz.
Melalui
Puisi-Puisi Sekejap(2013)mengalunkan
keterpecahannya pelan-pelan. Aku terbentuk di rumah kata/namun disitu aku tak bisa
berkata /saat tersapa(Rumah). Dalam puisi
ini penyair seolah menjelaskan bahwa imajinasi penyair hidup di dalam rumah, ia
berada dalam kosmologi yang sebenarnya membawa metafora rumah kata dengan pengertian
rumah dalam arti fisik, atau keluarga. Ia si penyair memang pecah, saat di
rumah, saat dirumah itulah, imajinasi hidup sehidup-hidupnya, tapi bisa jadi
begitu tak berdaya ketika rumah kata
bertemu dengan rumah dalam arti
keluarga. Maka ditutup dengan kata-kata
yang apik. Namun disitu, aku tak
bisa berkata/Saat tersapa. Simak saja sajak yang berjudul Rumah : sebongkah ruang
menyimpan gelisah/yang selalu membungkus tubuhmu. Kehidupan penyair seperti
diungkap dalam buku puisi ini. Sebagaimana pengakuan yang ada di awal buku ini.
Mereka merupakan bagian dari konstruksi
si penulis. Seolah melalui senja, malam,
catatan, dan pagi penyair ingin membagi ada cerita yang tak bisa kita
biarkan saja. Ada peristiwa dari keseharian kita yang tak bisa kita lewatkan
begitu saja.
Maka tak heran, puisi ini seperti
merangkul apa yang ada di buku ini. Catatan
pagi 3 :Hampir dua puluh tahun lebih/
dan diantaranya terkelilingi abjad-abjad/ aku tak mau lagi menghilangkan
peristiwa. Sekilas puisi ini mirip testimony atau pengakuan penyair bahwa
ia memang tak mau menghilangkan peristiwa. Tapi bila kita lihat puisi lain yang
memiliki tautan dengan puisi diatas maka kita akan merasakan ajakan ke pembaca
untuk tak menghilangkan peristiwa yang datang kepada kita dalam keseharian
kita. Pada puisinya catatan pagi 4 :
Kenangan menggenang/ diantara lautan
manusia/ abai. Pagi, seolah tak hanya digambarkan dengan kasat dengan
peristiwa, penyair memilih kata kenangan
dengan jeli. Peristiwa keseharian sepertinya sudah diabaikan oleh kebanyakan
orang sehingga kenangan atau semacam memori jadi tak berfungsi. Di puisi
berikutnya yang menjelaskan peristiwa yang diabaikan itu ada di Puisi Selembar Koran: Namun, apa yang ia ceritakan/ hanya
menjadi pencuci mulut. Seperti itulah gambaran koran yang ada di pembaca
maupun di balik peristiwa disana, peristiwa ada hanya mampir belaka. Dengan metafora yang jeli dan
puisi-puisinya yang singkat inilah, sebenarnya penyair menahan nafasnya yang
sebetulnya panjang. Tapi penyair memilih untuk membawa pesan dalam puisinya.
Melalui pesan-pesan itulah, penyair menghampiri kita dengan sajak-sajaknya yang
pendek dan ciamik ini. Tapi bila kita lihat lebih jauh, tak sekadar peristiwa
yang jadi ruh dalam puisi ini. Puisi
Sekejap ini tetap tak mampu
menyembunyikan bagaimana pengarang pecah dan tak karuan baik berhadapan dengan
peristiwa maupun menghadapi rumah.
Simaklah keterpecahan penyair ketika
ia memasuki dunia yang kita namai “kampus“. Dunia kampus terkadang membawa ke
trauma, traumatik yang tak terpendam itulah, ia hadirkan melalui puisi. Cetakan :Selama ini aku tercetak oleh tiga ratus enam puluh lima hari kali empat
/selama itu /sunyi justru menyekap birahiku berkata.../Dan temanku menyapa, sudah jam kesekian kita terseret kata. Memang
tak ada kaitan diksi yang berbau kampus, tapi penanda waktu memberikan beberan
yang jelas bahwa studi 4 tahun itu seperti tak menghasilkan gairah kata. Gairah
kata justru dicipta ketika penyair lepas dari kampus, dengan menutup puisinya. Sudah jam kesekian kita terseret kata. Buku kumpulan Puisi
Sekejap ini memang lahir dari keterpecahan pengarang yang memberikan
keterpecahannya melalui sajak-sajaknya yang singkat dan ringkas. Puisi-puisi
ini seperti sapaan, sentuhan, tapi tak lekas usai. Sebab ia seperti keseharian
kita yang ada dalam buku harian. Sampai
kapankah malam akan sampai kepada diary ke 100 atau tak menggunakan angka?, barangkali
keliaran imajinasi dan metafora penyair masih berpatok pada waktu yang merujuk pada hari, jam, dan tahun.
Sehingga keterpecahan itu begitu sederhana dan lekas bisa
kita baca.Ini pula yang merupakan keunggulan
penyair,ia tak mau tergoda memusingkan pembaca, atau membuat pembaca takjub. Ia
hanya ingin pembaca singgah sebentar, dan memunguti sajak-sajaknya. Melalui
diksi-diksi yang akrab dengan keseharian.
Catatan Senja, Catatan Pagi, Catatan Malam, Rumah, Percakapan. Melalui
keterpecahan itulah, sebenarnya puisi tidak ingin seperti penyairnya yang
pecah, tapi puisi justru membuat episode dan jeda diantara puing-puing
keterpecahannya itu.
*) Pegiat di Bilik Literasi
SOLO, Buku Puisinya Hujan di Tepian
Tubuh, Pengelola www.doeniaboekoe.blogspot.com
No comments:
Post a Comment