Judul Buku :
The Various Flavours of Coffee
Terbit : 2013
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Halaman : 680 halaman
ISBN :978-979-22-9003-5
—Arif saifudin yudistira*)
“Aku berharap semua juragan kopi dan pencinta kopi di Indonesia membaca kisah ini”
Kehidupan memang tak
sekadar hitam dan putih, ada masa remaja dan dewasa. Kehidupan memang tak
selalu lurus, ada tikungan, ada cobaan dan ada ujian yang menyertainya. Kisah kehidupan
yang tak lurus ini memang sudah dialami oleh manusia semenjak ribuan tahun
lalu. Oleh karena itu, kehidupan tak bisa disederhanakan dengan “mudah” dan
“tidak mudah”. Penulis mahfum, bagaimana kopi seperti masuk dalam hidung dan
otaknya. Kopi diurai pelan-pelan tanpa terburu-buru menyelesaikan cerita ini.
Cerita ini memang sudah diakhiri, tapi sepertinya riwayat kopi, bisnis, dan
percintaan sebagaimana rasa hidup ini tak bisa ia selesaikan meski 680 halaman
sudah dituliskan. Kisah kopi di buku ini merambat pelan dari wilayah Inggris,
brasil, hingga afrika dan sumatera. Kita seperti diajak berfantasi dan
berpetualang dengan negeri-negeri kopi. Meski begitu, petualangan buku ini tak
mendetail mengurai sumatera, bagian dari negeri kita yang juga merupakan surga
kopi.
Kopi
jadi jalan pembuka mengisahkan manusia. Manusia menikmati kopi, dan mendapatkan
sensasi melaluinya. Tak beda dengan kopi, aroma kopi seperti aroma penyair yang
menekuni dan mengenali rasa dalam sajaknya. Di buku ini, penyair dikisahkan larut dalam dunia kopi, dunia kopi
lebih menggoda untuk menjadi puisi ketimbang puisi itu sendiri. Dunia kopi
sudah jadi puisi sendiri bersama kisah hidupnya bagi Robert Wallis, tokoh utama
di novel ini. Robert semula tokoh penyair tak jelas, tak ada karya, tak tenar
di masa remajanya. Sampai juragannya yang baik hati Tuan Pinker mengajaknya
menyelami dunia puitis—dunia kopi—.
Pinker
menyadari bagaimana ketajaman indera penyair ini, dan mengambilnya sebagai
perpaduan antara bisnis dan obsesinya. Dari itulah ia berhasil membuat “buku
pedoman”. Bagi Robert, kebaikan Pinker dirasa belum cukup, tak hanya kopi, dan
buku pedoman yang ingin dia hasilkan, ia membutuhkan lebih dari kopi dan buku
pedoman, yang tak lain adalah cinta. Dari itulah Robert menemukan Emily anak
bosnya, yang menggodanya dan membuatnya menuruti Pinker untuk membuka bisnis
kopinya di Afrika.
Dunia Kopi
Seperti
judul dari novel ini The Various Flavors
of Coffee, rasa cinta dalam kopi. Seperti judulnya, buku ini memang tak
cukup mampu menjelaskan berbagai kisah manusia di balik kopi. Akan tetapi, buku
ini cukup memberikan petilan kisah manusia dan kopi dengan sangat jeli dan
memikat. Kisah manusia dan kopi tak sesederhana kita menikmati kopi di
warung-warung pinggir jalan maupun di kafe-kafe. Ada bisnis besar, ada
percintaan, ada permainan pasar dan bagaimana trend dan brand
dibubuhkan. Kopi memerlukan itu semua, tanpa itu rasa kopi jadi hambar.
Barangkali karena itulah, hal yang harus dilakukan bagi Pinker, ia memerlukan
buku pedoman sebagai panduan rasa, variasi dan bagaimana membuat rasa menjadi
popular dan mudah dikenal dengan kata-kata.Saat itulah dunia kepenyairan
dimainkan. Penyair tak hanya dipandang sebagai orang yang menjajakan kata
semata, tetapi sebaliknya kepekaan rasa dan kepekaan inderanya diuji bersama
kopi. Maka dari itu, Robert Wallis justru merasa senang dengan latihan
inderawinya dan keluwesannya mengolah kata. Saat itulah ia baru menyadari dunia
kata tak sederhana, seperti kopi. Apa yang dilakukan dan dialami Robert sebagai
penyair menekuni dunia kopi memang tak sederhana. Dan dari rumah tuannya,
Pinker itulah ia memulai petualangannya dengan kopi. Semua itu ia lakukan demi
mengenali bagaimana mengenali kopi dan hidupnya itu sendiri. Gambaran kesulitan
itu bisa kita simak dalam kalimat berikut ini : Pengalaman sangat penting dalam mengembangkan bahasa lengkap untuk
rasa, dan pemahaman utuh tentang banyak nuansa rasa yang bersembunyi di latar
belakang bau pada umumnya, dan sensasi rasa khusus yang kita kenal sebagai
kopi. Memperoleh pengalaman seperti ini butuh waktu. Tidak ada jalan pintas.—Lingle,
The Coffee Cupper’s Handbook (hal.534).
Dari petualangannya ke Afrika
itulah, ia semakin menemukan bagaimana kerinduan, kenangan bersama buku pedoman dan Emily, membuatnya
semakin mengerti bahwa kopi menyimpan kerinduan dan cinta yang hangat. Untuk
itulah, kopi dan dunia barunya di Afrika sesekali mengingatkannya pada London.
Tapi, dunia kepenyairan memang identik dengan dunia petualangan. Petualangan
tak hanya di dunia kata dan dunia imajinasi, Robert Wallis menghadirkan
petualangan itu pula dengan petualangan cintanya. Pertemuannya dengan Fikre
mengundang gairah percintaan dan sensasi yang mendalam. Percintaan dengannya
itu pula yang membawa ia mencium bau kehidupan, perselingkuhan dan misteri di
balik percintaannya dengan Emily. Maka setelah ia berhasil hidup dan kembali ke
London, ia seolah berseru: “bahwa obsesi manusia kepada kopi tak boleh begitu
saja menindas dan mengacak-acak tanah orang lain seperti yang dia lakukan di
Afrika”.
Pelajaran
Dengan
kembalinya Robert Wallis ke London, ia kemudian membuka kembali lembaran
hidupnya dan semakin dewasa. Kembalinya ke London mengingatkan ia pada masa
lalunya Emily dan permintaan maafnya pada majikannya Pinker. Setelah kembali ia
menemukan bagaimana Emily kemudian memperjuangkan hak-hak wanita hingga mati.
Ia seperti menemukan dunianya, dunia penyair selama ini. Sebagai seniman ia
mengilhami kehidupannya selama ini dengan kopi dan kehidupannya. Ia pun
menuliskan ini dalam kalimat sederhana : “Aku belajar apa yang harus dipelajari
setiap manusia, dan tidak ada manusia yang bisa diajari—bahwa apapun yang
diceritakan penyair kepadamu, ada berbagai jenis cinta, tawa seorang wanita,
bau khas seorang anak, membuat kopi—ini adalah berbagai rasa cinta”(hal.672).
Dunia penyair, dan manusia seperti
dalam buku ini sama dengan dunia kopi itu sendiri, ia adalah dunia misterius
dan penuh teka-teki, meskipun kode-kode sudah dibuat tetap saja belum mampu
mengenali betapa banyaknya rasa dan aroma kehidupan ini. Ah, aku jadi teringat
sajak Jokpin yang nakal tentang kopi susu. Bisa jadi sajak ini turut
menjelaskan betapa misteriusnya kopi, dan di tangan Jokpin menjadi jenaka. “Kopi membuat matamu menyala, susu membuat
matamu manja”—Haduh, Aku di Follow (2013).
Penulis adalah Santri Pengajian Malam Senin,
dan Pegiat Bilik Literasi Solo
No comments:
Post a Comment