klik disini untuk dapatkan dollar secara gratis!

Monday 21 July 2014

Menuliskan Tari dari Berbagai Sisi ; Refleksi Joged Amarta dan Pengaruhnya




 Oleh Arif Saifudin Yudistira*)

            Elif Shafak seorang novelis Turki, dalam novelnya yang berkisah tentang Rumi menuliskan kalimat indahnya : “ketika kau melangkah ke wilayah cinta, kau tidak akan membutuhkan bahasa” (Shafak, 2014 :510). Shafak mengurai bagaimana ketika seseorang berada dalam tahap mencintai, maka ia tidak lagi membutuhkan bahasa untuk mengungkapkan ekspresinya. Karena itulah, gerak bisa menjadi wujud dari ekspresi cinta. Dari kecintaan itulah, kita menemukan bahwa sebuah gerak tak sekadar gerak, melainkan kesatuan antara alam, manusia dan Tuhan. Kita bisa melihat kesatuan ini melalui penelitian Richard Dawkins yang dalam kondisi tenang pun, DNA kita sudah menari-nari, melakukan gerak dengan ritme yang indah, apalagi ketika tubuh manusia menari. Meski demikian, gerakan tubuh belum tentu kita sebut tari, tari kita sebut demikian karena ia memiliki pancaran keindahan. Goenawan Mohammad mengatakan bahwa jika hari-hari ini tari, terutama sebagai ekspresi, penting, itu karena yang terjadi adalah sebuah penemuan yang sering dianggap terlalu lumrah : kita menemukan kembali tubuh, dan bersama itu kita juga menemukan kemerdekaan. Lebih lanjut GM mengatakan metafisika, agama, ekonomi, dan ilmu kedokteran sering meleset melihat fenomena ini-salah pandang yang telah meninggalkan banyak trauma. Di dalam tarian kita akan berada pada satu titik, “kita tak tahu darimana awal dan akhirnya”.
            Dari pengertian tentang tari itulah, kita menemukan bahwa apa yang menjadi kerja kreatif Suprapto Suryo Darmo dengan Joged Amartanya menemui apresiasi dan penghargaan dari rekan-rekan, teman dan para murid-muridnya dari sebelas negara. Apresiasi dan pengakuan yang diberikan oleh murid dan teman-temannya itu terangkum dalam buku Embodied Lives (2014). Mereka bercerita tentang pengalaman mereka ketika bertemu dengan Suprapto Suryo darmo dari saran guru mereka, dari inisiatif mereka untuk belajar tentang Joged Amerta.
Mbah Prapto dan Amerta
            Saya mengenal Suprapto Suryo Darmo sebagai seorang yang bersahaja, sulit disangkal sangat tak mungkin seorang yang sudah di usia tuanya masih saja menekuni tari dan juga masih melakukan jalan-jalan sebagai mana anak muda yang rajin berkunjung ke toko buku. Satu ketika saya bertemu dengan Mbah Prapto di kala pameran buku di gramedia belum lama ini, mbah prapto berbagi tentang pengalamannya yang senang melihat orang lalu-lalang bergerak kesana-kemari, asyik-masyuk memilah dan memilih buku. Pertemuan saya dengan Mbah Prapto sendiri tergolong belum lama, baru sekitar satu setengah tahun, pertemuan saya hanya sesekali saja ketika ia tampil di Gramedia, beberapa tahun silam atau di acara-acara yang ada di Solo. Pernah Prapto menampilkan tarian yang sangat unik, mungkin itulah yang dinamakan jogged amarta. Sebagaimana Laura teman mbah prapto yang dari jerman, kita memperagakan jogged dengan mempertimbangkan tak hanya meditasi, ekspresi, konektifitas, hingga kesatuan bunyi. Gerak itu menjadi demikian indah dan membuat kita seperti lahir kembali. Tak salah ketika salah seorang pengulas tentang Joged Amarta menyebut bahwa salah satu aspek dalam jogged amarta adalah kita menjadi bergerak seperti anak-anak. Proses jogged amarta mirip dengan deskripsi Beate Stiihm yang bercerita tentang kebunnya, ia beristirahat disana, ia berhenti, mendengarkan, dan melihat. Ini mengingatkannya pada aktifitas manusia, sehingga ia mengalami petualangan yang menakjubkan dan merasakan sesuatu yang luar biasa.
            Berbeda dengan Beate Stiihm, Keith Miller menyebut Joged Amarta sebagai practice of living measurement( praktek mengukur hidup kita). Dinamis,subjektif dari tubuh, pikiran dan hubungan yang mengambil gerakan dasar dari kehidupan sehari-hari, berjalan, duduk, merangkak, dan berbaring sebagai referensi. Keith miller mengatakan bahwa technik amerta, adalah titik, tempat, dan ruang hal ini memungkinkan baginya untuk bekerja dengan posisi yang berbeda dan banyak perspektif, fokus pada satu titik untuk konteks yang lebih luas. Christina Stelzer menceritakan bahwa ia mengalami perubahan besar setelah belajar jogged amarta, ia mengakui bahwa ia tidak pernah kembali melihat dunia dengan cara yang saya telah lihat sebelumnya. Ia mulai melihat sesuatu yang bersifat cultural, ia menemukan ilmu menunggu, mendengar dunia dan memberikan respek terhadapnya dari Joged Amarta. Christina memaknai “menunggu” sebagai sesuatu yang begitu pelan. Dalam kehidupan yang pelan itu, kita melihat, merasakan ke dalam lingkungan kita. meninggalkan terowongandan melihatnya. Dalam menunggu itu pula kita menemukan harapan.
            Para murid dan teman-teman Mbah Prapto mengingatkan saya dengan bilik literasi. Di bilik literasi teman-teman mengobrol, berbincang tentang sesuatu dan menuliskannya ke dalam catatan masing-masing. Cara belajar yang demikian juga dilakukan oleh teman-teman Mbah Prapto dari luar negeri, mereka juga melakukan pencatatan, melakukan kajian dan strukturisasi dan merumuskan pengetahuan dari Joged amarta dan Mbah Prapto sendiri. Sebagaimana catatan Steve Hopkins, Me, it’s not movement first (saya bukan gerakan pertama). Ini mengingatkan saya pada apa yang ditulis Goenawan Mohammad tentang tari, tari mengingatkan kita bahwa manusia bukanlah “aku” yang berada di luar tubuh. Ia bukan “aku” yang dari posisinya = lebih tinggi. Dalam tari, tubuh dan dunia tak sepenuhnya bisa kita kuasai;kita tak kunjung mengetahui apa yang akan terjadi. Karena itulah, dalam tari, kita seperti menjadi wayang. Kita hanyalah digerakkan oleh sesuatu di luar tubuh kita. Hal ini pun sejalan dengan yang dikatakan Mbah Prapto : tubuh dipandang sebagai titik pusat di mana planet-planet vertikal dan horisontal bertemu. sumbu vertikal mewakili spiritualitas, hubungan kita dengan Allah, kosmos dan di bawah dunia. Sumbu horizontal mewakili kehidupan sehari-hari dan komunikasi ... kita diingatkan untuk menjaga hubungan dengan titik pusat ini, dengan tubuh kita di bumi di sini dan sekarang.
            Melalui Joged Amerta Mbah Prapto sudah memberikan pengaruh yang cukup besar dalam pelbagai kajian. Tak hanya dari sisi psikologi, tapi juga dari sisi kajian tubuh, dan teologi, music, autism bahkan, keluarga, dan bidang yang lainnya. Prapto mengatakan bahwa selama satu dekade yang lalu, ia  mencoba untuk mengeksplorasi suara menjadi bunyi, menjadi kata-kata, dan menjadi kalimat. pada awalnya itu hanya terdengar. Seiring waktu berlalu, suara menjadi ekspresi. Kemudian, ekspresi itu , ia benar-benar merasakan keinginan untuk berkomunikasi, untuk menyampaikan sesuatu, untuk mencipta kata-kata ... dalam proses tersebut ada kesadaran diri sebagai sebuah kata; kehadiran saya bisa membuat kata-kata dan mengatur kata-kata. Kerja Mbah Prapto yang mengelaborasikan tarian dengan khazanah kebudayaan jawa dengan menempatkan candi, serta tempat-tempat kebudayaan lainnya seperti sungai, gunung, yang tak lain mendekatkan kembali kepada yang hidup ( kehidupan) di sekitar kita. Untuk mengembalikan hidup kita kepada kehidupan yang lebih tenang, tenteram dan lebih kreatif.

*) Penulis adalah Santri BILIK LITERASI SOLO , Alumnus UMS






No comments:

Post a Comment