Judul : Peter Berger Sebuah pengantar
ringkas
Penulis : Hanneman
Samuel
Penerbit : Kepik
Tahun : 2012
Tebal : 120 halaman
ISBN : 978 602 99608 6 0
Oleh
Arif Saifudin Y*)
“kesadaran sosiologis perlu untuk seseorang yang menyebut dirinya “intelektual” kesadaran ini akan memberi insane yang hidup di jalan pemikiran kapasitas yang tajam untuk berefleksi, melihat segala sesuatu dalam bingkai yang utuh, bahkan daya ironi dan kemampuan menjaga jarak dengan dirinya sendiri. Meminjam istilah Elias(1987)penarikan diri (detachment) selayaknya berjalan beriringan dengan keterlibatan”(involvement)(hal. 108)"
Dunia
filsafat memang lebih dikenal sebagai dunia yang indah, penuh dengan
kebijaksanaan dan utopis. Kata terakhir ini yang menjadikan dunia filsafat
lebih cenderung dipandang sebagai dunia yang hanya bermain-main dengan
pemikiran. Bagaimana dengan berger?. Peter L berger adalah sosiolog yang
setidaknya mencoba menjawab tantangan itu. Menurutnya dunia yang ada sekarang
ini adalah dunia yang perlu kita curigai. Sebab realitas dalam kajian berger
tak datang dengan sendirinya. Ia mengindikasikan realitas subjektif. Untuk
itu,ia perlu menjadi realitas yang bernilai ilmiah. Berger memandang ilmiah itu
objektivitas, empiris, sistematis dan teoritis.(hal.4). Buku
Peter L. Berger pengantar ringkas yang ditulis Hanneman Samuel
seorang pengajar mumpuni yang senantias bergelut di dunia sosiologi di dalam
kajian kesehariannya. Ia adalah pengajar di universitas, meski demikian, ia tak
mau memandang sosiologi sebagai ilmu yang selalu dan senantias terhormat. Sebab
itulah buku ini ditulis. Hanneman Samuel tak hanya ingin menunjukkan bahwa
berger perlu dikabarkan, berger perlu diceritakan pada kita semua. Ini bukan
hanya karena pemikiran Peter. L.Berger begitu penting dalam kajian sosiologi,
tapi pemikiran berger memberikan satu pemahaman penting bagi kita, bahwa
kajiannya tentang sosiologi dan ilmu pengetahuan sangat penting. Berger
memberikan satu kata kunci penting untuk memahami dunia kita. Yakni “realitas”.
Berger mendedah “realitas” perlu mengalami beberapa proses yakni
eksternalisasi, objektifikasi, dan internalisasi. Ketiga proses inilah yang
membentuk pengetahuan kita. Melalui tiga proses itulah, kita memandang
“sesuatu” dari pengetahuan akan “sesuatu” tersebut sebelumnya.
Nilai penting berger
Hanneman Samuel menghadirkan kembali pemikiran
berger dengan motif bahwa “kajian pemikiran berger dinilai penting karena ia
mengingatkan kembali akan kesejarahan dari sebuah “realitas social”. Dengan
melihat kesejarahan realitas social itulah kita bisa membaca berbagai
kepentingan atau realitas yang semu yang dibentuk dan dimanipulasi. Selain itu,
berger menekankan bahwa proses internalisasi itulah yang cenderung lebih
dominan dalam diri kita. Sehingga kita tidak objektif memandang sesuatu. Pemikiran
berger bisa kita praktikkan dengan realitas sosiologis negeri kita. Misalkan
ketika muncul berita terorisme di suatu daerah, media menggunakan proses
internalisasi yang terus menerus dan tak berhenti. Sehingga kita selaku warga
yang berada di lingkungan penangkapan terorisme biarpun mengetahui bahwa
sebenarnya lingkungan kita tidak ada masalah, kita akan ikut terpengaruh dan
memiliki sugesti bahwa “ada teroris di sekitar kita”. Dengan pemikiran berger,
kita mampu membedakan apa yang sebenarnya terjadi dalam realitas sosiologis
masyarakat kita. Meskipun media, berita, dan juga opini public berkembang, kita
bisa menganalisa “apa yang sebenarnya” terjadi. Disinilah letak dialektika
pemikiran berger.
Dekonstruksi
Pemikiran berger setidaknya mendekonstruksi atau
menggugat pemikiran sosiolog sebelumnya yang memandang bahwa realitas itu
dibentuk dari sesuatu yang general dan tampak di permukaan. Sehingga berbagai
kebijakan yang dibentuk oleh pemerintah seringkali berasal dari sesuatu yang
dinilai umum dan general. Oleh karena itu, kebijakan yang demikian seringkali
tak cocok di kalangan bawah. Akan tetapi berger membalik itu semua, bahwa
setiap individu mesti memiliki analisa dan kaca mata untuk menganalisa realitas
kesehariannya, realitas keseharian itulah yang membentuk objektifikasi di
masyarakat sehingga membentuk realitas social. Berger sebagaimana diungkap oleh
Geger riyanto sosiolog yang meneliti berger bahwa “sumbangsih pemikiran berger
adalah memberikan satu penutup dan simpulan besar para sosiolog sebelumnya
yakni kita hidup dalam realitas yang dibuat”. Buku
Peter Berger sebuah pengantar ringkas ini menarik untuk dijadikan kajian
awal bagi kita untuk mengenali berger dan mempraktekkan metodologinya. Berger
mengajak kita untuk curiga, waspada, tapi juga senantiasa berfikir ilmiah dan
resah akan kondisi masyarakat kita. Ia menyarankan adanya dialektika di dalam
realitas social. Sehingga kita memiliki objektifikasi terhadap realitas social
yang benar. Tak berhenti sampai disana, kita memiliki kewajiban dengan
pengetahuan akan realitas social itulah, kita menyadarkan dan menyerukan masyarakat,
bahwa realitas social yang dibuat ini perlu kita sadari dan mengerti bagaimana
menyikapi realitas tersebut. Sehingga ia mengatakan dengan kesimpulan sederhana
: “….fenomena manusia tidak berbicara dengan sendirinya : ia harus
ditafsirkan”(berger and kellner,1981:10)(hal.42).
Kajian berger bisa kita gunakan untuk menelaah
bagaimana “realitas politik”, “pencitraan penguasa” hingga berbagai pembohongan
public yang disiarkan melalui media bisa kita analisa. Dengan begitu, kita
sebagai manusia yang memiliki modal “pengetahuan” bisa menggunakan sosiologi
pengetahuan yang kita punya untuk lebih memahami dunia (realitas kita yang
sesungguhnya). Karena itulah, buku ini dihadirkan. Bahwa Hanneman Samuel tak
mau terkungkung dalam satu realitas sosiologis di dunia perkuliahan yang
cenderung terkungkung dengan realitas yang lebih cenderung kepada realitas
keseharian. Dengan menghadirkan buku ini, hanneman Samuel juga mengungkapkan
pentingnya kesadaran sosiologis. “kesadaran sosiologis perlu untuk seseorang
yang menyebut dirinya “intelektual” kesadaran ini akan memberi insane
yang hidup di jalan pemikiran kapasitas yang tajam untuk berefleksi, melihat
segala sesuatu dalam bingkai yang utuh, bahkan daya ironi dan kemampuan menjaga
jarak dengan dirinya sendiri. Meminjam istilah Elias(1987)penarikan diri
(detachment) selayaknya berjalan beriringan dengan
keterlibatan”(involvement)(hal. 108).Begitu.
*)Penulis adalah Alumnus UMS, pegiat di bilik
Literasi solo
*) Dimuat di Retakan kata
No comments:
Post a Comment