Judul : PKS dan KEMBARANNYA
Penulis : Anthony
Bubalo,dkk
Penerbit : Komunitas
Bambu
Tahun : 2012
Tebal : 122
halaman
ISBN :
978 602 9402 05 6
Oleh Arif Saifudin Yudistira *)
"Buku ini juga menunjukkan bagaimana PKS merubah strategi politiknya demi menyikapi perkembangan demokratisasi di Indonesia bila ia ingin besar dan memperoleh simpatik dari masyarakat Indonesia mengingat masyarakat kita sudah jauh mentolerir syariaisasi negara semenjak proklamasi kemerdekaan kita"
Masa depan partai PKS ditentukan oleh sikap dan kecerdasan
kepemimpinannya menanggapi dan beradaptasi dengan iklim demokratisasi di negeri
ini. Thesis inilah yang hendak disampaikan dalam buku ini. Bukan hanya itu
saja, buku ini juga memberikan gambaran detail bagaimana “demokrasi
mempengaruhi kaum islamis”. Kajian tentang partai islam di negeri ini menjadi
sangat menarik ketika ia dikaitkan dengan kajian historis bagaimana negeri ini
sempat mengalami perdebatan sengit tentang masa depan negara yang akan di
bangun di negeri ini. Kerelaan Umat islam mengganti sila pancasila menjadi
“ketuhanan yang maha esa” tidak serta merta berhenti pada tataran tekstual
saja. Tapi masyarakat islam Indonesia lebih memilih bagaimana kemudian
islamisasi berlangsung dalam kehidupan sehari-hari sebagaimana yang dilakukan
oleh ormas seperti Muhammadiyah hingga Nahdlatul ulama, dan ada yang memilih
jalan lain meminjam istilah Deny indrayana “syariahisasi konstitusi”. Cara yang
ditempuh ala Mao –desa mengepung kota ini, setidaknya efektif hingga berhasil mengesahkan
UU pornografi dan syariaisasi undang-undang lain seperti dalam hal pernikahan.
Kajian dalam buku ini mengangkat
tema PKS sebagai tema sentral partai islam yang disoroti begitu tajam. Meskipun
partai-partai islam lain penting, tapi kajian PKS begitu memikat karena dianggap
simetris dengan bagaimana partai AKP di turki dan gerakan al-ikhwanul muslimin
di mesir. Kajian dalam buku ini masih menggambarkan bagaimana ketakutan barat
terhadap berkembangnya islamisme yang memimpin perubahan baik di timur tengah
maupun di asia khususnya Indonesia. Ada semacam kesimpulan yang dianggap
simetris antara berkuasanya islamisme dengan kecenderungan otoritarianisme.
Ketakutan ini diungkapkan dengan contoh di mesir, dan turki yang memiliki
kecenderungan ke arah sana, dan ini tak diharapkan di Indonesia.
Di mesir, sebagaimana di gambarkan
dalam buku ini, mesir setelah Gamal abdul nasher, ketika dipimpin oleh anwar
sadat yang menggunakan prinsip “otokrasi-liberal”, dan berakhir mengerikan
dengan pembunuhan sadat yang dilakukan islamis militant 6 oktober 1981(hal.19).
Begitupun pengganti sadat, Husni Mubarak yang berakhir dengan mengundurkan
diri. Kita pun masih ingat ketika seorang Moammar khadafi yang berakhir
mengenaskan dibunuh oleh para pejuang demokrasi di Libya. Melihat akhira dari
otoritarian itulah, amerika dan barat begitu terpikat untuk mengkampanyekan
demokrasi kepada negara timur tengah hingga asia utamanya Indonesia.
Kita tak asing dan mengingat
bagaimana peristiwa tifatul sembiring salah satu menteri sekaligus petinggi PKS
yang bersalaman dengan menteri luar negeri amerika ketika berkunjung ke negeri
ini. Keterlibatan partai ini sudah sedemikian hebat dalam soal dan urusan
demokrasi dan ham yang sering digelontorkan oleh barat sehingga menlu amerika langsung
yang mengkampanyekan ini. Sedangkan di negeri mesir dan turki kita bisa menilik
lebih jauh bagaimana amerika dan kampanye demokrasinya memberikan pengaruh
terhadap negara timur tengah ini. Marilah kita simak petilan pidato Edward
P.Djerejian, seorang asisten sekretaris amerika untuk urusan negara timur dekat
dan asia selatan. Di dalam buku ini ia menuliskan : “mereka yang berupaya
memperluas partisipasi politik di timur tengah akan memandang kami sebagai
pendukung, seabgaimana posisi kami sebelumnya di dunia lainnya. Di saat yang
bersamaan, kami mencurigai mereka yang menunggangi proses demokrasi untuk
meraih kekuasaan dengan tujuan menghancurkan proses tersebut demi melanggengkan
kekuasaan dan dominasi politik. Walaupun kami mempercayai prinsip “satu orang,
satu suara”, kami tidak mendukung “satu orang satu suara, satu kali”.
Phobia islam
Melalui buku ini, seolah barat ingin menegaskan kembali
bahwa ada ketakutan atas kekuatan islam ketika ia mengusung satu konsep besar
tentang islamisasi(negara) yang jelas membawa implikasi terhadap system
pemerintahan yang mengarah pada khilafah -model pimpinan dengan konsep ummah.
Islam akan jadi kekuatan besar yang akan menyaingi imperium barat yang dibangun
amerika. Kekhawatiran ini di usung dengan dalih bahwa apa yang dibawa oleh
islamisasi ternyata belum cukup mampu mengalahkan konsep demokratisasi. Barat
seolah mengatakan di dalam konsepsi para kaum islamis tak ada kamus demokratisasi.
Maka dengan buku ini, barat seolah
membalik, tak ada pengaruh islamisasi kepada prinsip-prinsip demokrasi, tetapi
sebaliknya ada pengaruh yang bisa dilihat secara kentara pada bagaimana
demokrasi menyumbang perubahan pada kaum islamis. Sebagaimana dilihat di negara
turki, mesir dan Indonesia. Melalui tiga contoh negeri ini, seolah barat ingin
menunjukkan bahwa demokrasi sudah membawa perubahan kepada ketiga negara
tersebut. Di mesir misalnya kita melihat bagaimana al-ikhwanul muslimin sudah
mengalami pelunakan dari konsep “syariaisasi negara” kepada penerapan syariat
di masyarakat. Hal ini dilakukan dengan focus partisipasi politik masyarakat
ketimbang tercapainya revolusi-syariaisasi negara. Begitupun ketika kita
melihat di turki dengan berkembangnya partai AKP yang berkuasa juli 2007 yang
membawa prinsip-prinsip demokrasi sebagaimana yang dikatakan Erdogan : “kita
menginginkan konstitusi yang akan menyediakan dan melindungi negara yang
demokratis,sekuler, dan negara social yang menjunjung hukum(social state of law).”(hal.88).
Pada bagian akhir buku ini, menyimpulkan
dengan gamblang bagaimana “demokrasi” mengalami kemenangan di tiga arena yang
disinggung dalam buku ini yakni di turki, mesir hingga Indonesia yang dicontohkan
melalui partai PKS. Kemenangan demokrasi ini juga ditunjukkan dengan bagaimana
PKS telah merubah kebijakan politiknya untuk mensiasati perkembangan dirinya
untuk tidak lagi mengutamakan “syariaisasi negara”,tapi lebih pada isu-isu
populis seperti partai bersih, partai jujur dan partai yang mengangkat
kesejahteraan rakyat. Dengan kemenangan demokrasi itulah, maka barat melalui
buku ini mengambil kesimpulan dengan bahasa yang sangat politis. “ buku ini
tidak berusaha untuk membuktikan atau membantah apakah kaum islamis dapat
menjadi ‘democrat yang gigih’ tetapi memahami bagaimana konteks politik
membentuk respon kaum islamis, dan aktifisme kaum islamis. Dengan kata lain
buku ini menjawab “apa yang demokrasi perbuat terhadap kaum islamis”?.
Maka dengan konklusi itulah, dengan
sendirinya barat melalui buku ini seolah ingin menunjukkan bagaimana kemenangan
dan kampanye demokratisasi di dunia ini melalui amerika sebagai gerbongnya.
Selain itu, buku ini juga menunjukkan bagaimana PKS merubah strategi politiknya
demi menyikapi perkembangan demokratisasi di Indonesia bila ia ingin besar dan
memperoleh simpatik dari masyarakat Indonesia mengingat masyarakat kita sudah
jauh mentolerir syariaisasi negara semenjak proklamasi kemerdekaan kita.
*)Penulis adalah Alumnus Universitas
Muhammadiyah Surakarta, Pegiat Di bilik Literasi SOLO
No comments:
Post a Comment