Judul : Ghirah
Gatha
Penulis : Lan Fang
Penerbit : Gramedia
jakarta
Tahun : 2011
Tebal : 65 halaman
ISBN : 978 979 22 8106 4
Harga : Rp.20.000,00
Oleh
Arif Saifudin Yudistira *)
Jika ada kriteria kategori penyair lembut
penuh cinta di Indonesia, pastilah Lan Fang masuk salah satunya. Ia tak hanya
lembut dalam persoalan sikap dan kepedulian terhadap sesama hingga pada cerita
yang membawa pesan-pesannya. Indonesia mencatat lan fang sebagai perempuan tangguh
dan humanis dan pejuang pluralisme. Di mata kolega ia pun tercatat oleh
sahabatnya sesama penulis. Ia menggelar acara sastra dan doa bersama ketika
teman penulisnya mengidap penyakit kanker. Ia begitu peduli dan sayang serta
mengerti bahwa tak ada yang menghalangi manusia untuk berbuat kebajikan kecuali
dirinya sendiri. Pesan itu kuat, meski ia tak sadar, bahwa ia pun mengidap
penyakit demikian pula.
Lan fang,dalam buku kumpulan
puisinya ghirah gatha mengajak kita memasuki dunia lan fang sendiri. Dunia lan
fang adalah dunia penuh cerita dan cinta. Ia menulis dengan semangat dan
totalitas yang luar bisa. Bila kita telisik lebih jauh kita akan bertemu dan
bersapa lan fang dengan gayanya yang lembut tapi sapaan yang dalam. Simak saja
puisi berikut : KABAR KABUT (4) : Ada
daun tenggelam/ karena rindu dalam/ pada kabut malam. Ia seolah ingin
mengatakan di malam ada kerinduan yang dalam dan ketakjuban yang luar biasa
pada keindahan ciptaanNya. Metafora yang digunakan tak hanya sekadar menandakan
bahwa lan fang lihai mengemas bahasa yang indah saja, tapi ia seperti mencipta
puisi yang tak hanya sufistik, dan jernih. Penyair menulis dalam keheningan,
begitulah penyair jerman abad 20 Rainer maria rilke berujar. Maka puisi lan
fang seperti mensyaratkan itu. Ia seperti sabar dan tak mau mengelola katanya
jadi bahasa yang indah semata, tapi ia memasukkan peristiwa hingga pada rasa
yang bisa memasukia pada kejernihan puisi itu sendiri.
Rasa
Meski ia
adalah keturunan tionghoa, tapi penyair tak mau menjebak dan memasuki identitas
ini terlampau jauh, ia lebih memilih “rasa” yang justru identik dalam jiwa
manusia jawa. Kepekaan itulah yang membawa lan fang seperti membawa
emosi-emosinya, hasrat juga kedalaman perasaannya dalam puisinya. Ada kata-kata
“nawang wulan”, ada “sasmita”, bahkan ada kata-kata “ngudarasa” dan ‘kasunyataan”. Kita pun bisa saja
mencurigai dengan perasaan dan motif keindahan bahasa hingga pada persoalan
pasar, tapi tak mungkin lan fang menggunakan motif tersebut.
“Lan Fang ingin menjelaskan secara zahir, puisinya tak kentara jika
tak mampu membaca jiwa lan fang yang bersuara lirih dalam puisi ini”
17 puisi lan
fang yang terhimpun dalam puisi ini mengalir seperti air, bersiul seperti
angin, dan kadang juga meniupkan angin sepoi yang sejuk. Kita bisa menyimak
dalam puisi bagai :aku menantikanmu bagai tetes tirta di
pasir/ bagai kasunyataan hujan tanpa air, zikir tanpa akhir. Aku mencintaimu
bagai laut/ bagai induk semua anak sungai/ muara semua kabut. Aku merindukanmu
bagai pengembara cakrawala/ sedang kau bagaimana?. Bahasa figurative dalam
puisi lan fang tak hanya sekada bahasa visual, tapi ia melampaui itu. Ia tak
hendak membawa pembaca berimajinasi, tapi sedang menonton langsung dan
merasakan apa yang dialami penyair. Di puisi bagai, kita menemukan bahwa alam
dan sekitarnya adalah keindahan yang tak
cukup mampu bila hanya diungkap melalui bahasa. Bahasa tak cukup memadai
dan menjangkau keindahan dan keindahan alam.
Cinta
Cinta Lan Fang
sebagaimana yang selama ini ia tunjukkan dalam hidupnya, ia tak membeda-bedakan,
ia melebur, dan mengilhami dari setiap ajaran dan khasanah kemanusiaan.
Agama tidak dipandangnya sebagai musuh,
melainkan sebagai perbedaan yang justru menambah dan memperkaya diri. Ia tak
asing dengan gusdur,ini dibuktikan dengan buku yang mengisahkan memorinya
bersama gus dur. “IMLEK TANPA GUS DUR” adalah bukti bahwa ia memiliki perasaan
batiniah yang sangat ketika memiliki sahabat, bapak hingga kepada sosok
kepemimpinan dari gus dur. Ia mengajar di pesantren gus dur, ia seperti tak
memiliki perbedaan yang berarti meski berbeda agama. Maka simaklah batiniah dia
ketika menuliskan puisi :Apakah/aku
melihatmu di tikungan mimpi/ kau menuruni serambi masjid kecil yang sederhana/
sembari meniti/tampak sarungmu rapi sekali. Ketika itulah aku sampai/ seandainya
kau mengerti/ada harum hio sua melewati ujung salatmu tadi/ apakah kau akan
memintaku untuk berhenti?.
Masjid,
hingga nuansa puitik dalam puisi ini kentara dengan kisah lan fang dengan
pesantren yang erat dengan dunia sarung, hingga pencitraan dalam puisi tadi. Ia
seperti bertanya dan menyampaikan pesan pada kita, apakah ada batas, apakah ada
garis yang menjadi pemisah antara jiwa yang mengagumi masjid dengan keindahan
dan suasana jiwa di dalamnya dengan jiwa yang diluar masjid yang takjub dan
sama-sama memancarkan harum hio sua sebagaimana yang digambarkan dalam puisi
apakah. Lan fang bicara keras, tapi bahasanya halus, bahwa tak semestinya batas
harus hilang dalam jiwa dan kelembutan hati bagi para pencinta dan pemeluk
agama.
Begitupun imajinasi subuh, imajinasi
tuhan, hingga imajinasi kebeningan dihadirkan dalam nuansa pagi yang erat
dengan suasana sejuk, bersih,dan penuh kelembutan. Lan fang menuliskan dalam
puisi Tangis belibis(1) : teduh
suara subuh/sepi bunyi tubuh/gerimis mendenting hening/dan Kau begitu bening.
Dalam puisi ini ia kembali memainkan pesan yang ada dalam puisi ini melalui
imajinasi citraan belibis, subuh hingga bening. Sungguh lan fang mengemas ini
dengan sangat apik, ia tahu betul bahwa subuh dan pagi adalah tempat kejernihan
yang mesti bersih dan putih seperti belibis. Tangis sebagai penanda bahwa
ketakjuban diekspresikan dengan lelehan air mata yang mampu mengusik belibis
hingga menangis. Lan fang seakan mengatakan bahwa ada keajaiban dan suasana
luar biasa dalam suasana subuh. Puisi lan fang dalam 17 kumpulan puisi ini
ditulis dengan kegairahan dan kedalaman. Ia tak mau terjerambab dengan
persoalan keindahan yang sepi. Artinya, ia tak ingin jadi penyair yang
menuliskan puisinya hanya sekadar memuja bintang dan bulan. Ghirah cinta lan-
fang ada disana untuk menyapa kita.
*)Penulis adalah Alumnus UMS, bergiat di bilik literasi menulis
buku hujan di tepian tubuh(2012)
No comments:
Post a Comment