klik disini untuk dapatkan dollar secara gratis!

Monday 21 July 2014

Lan Fang dan Puisi Lirisnya



Judul                                      : Ghirah Gatha
Penulis                                  : Lan Fang
Penerbit                                 : Gramedia jakarta
Tahun                                    : 2011
Tebal                                      : 65 halaman
ISBN                                       : 978  979 22 8106 4
Harga                                     : Rp.20.000,00


Oleh Arif Saifudin Yudistira *)
            Jika ada kriteria kategori penyair lembut penuh cinta di Indonesia, pastilah Lan Fang masuk salah satunya. Ia tak hanya lembut dalam persoalan sikap dan kepedulian terhadap sesama hingga pada cerita yang membawa pesan-pesannya. Indonesia mencatat lan fang sebagai perempuan tangguh dan humanis dan pejuang pluralisme. Di mata kolega ia pun tercatat oleh sahabatnya sesama penulis. Ia menggelar acara sastra dan doa bersama ketika teman penulisnya mengidap penyakit kanker. Ia begitu peduli dan sayang serta mengerti bahwa tak ada yang menghalangi manusia untuk berbuat kebajikan kecuali dirinya sendiri. Pesan itu kuat, meski ia tak sadar, bahwa ia pun mengidap penyakit demikian pula.
            Lan fang,dalam buku kumpulan puisinya ghirah gatha mengajak kita memasuki dunia lan fang sendiri. Dunia lan fang adalah dunia penuh cerita dan cinta. Ia menulis dengan semangat dan totalitas yang luar bisa. Bila kita telisik lebih jauh kita akan bertemu dan bersapa lan fang dengan gayanya yang lembut tapi sapaan yang dalam. Simak saja puisi berikut : KABAR KABUT (4) : Ada daun tenggelam/ karena rindu dalam/ pada kabut malam. Ia seolah ingin mengatakan di malam ada kerinduan yang dalam dan ketakjuban yang luar biasa pada keindahan ciptaanNya. Metafora yang digunakan tak hanya sekadar menandakan bahwa lan fang lihai mengemas bahasa yang indah saja, tapi ia seperti mencipta puisi yang tak hanya sufistik, dan jernih. Penyair menulis dalam keheningan, begitulah penyair jerman abad 20 Rainer maria rilke berujar. Maka puisi lan fang seperti mensyaratkan itu. Ia seperti sabar dan tak mau mengelola katanya jadi bahasa yang indah semata, tapi ia memasukkan peristiwa hingga pada rasa yang bisa memasukia pada kejernihan puisi itu sendiri.
Rasa
            Meski ia adalah keturunan tionghoa, tapi penyair tak mau menjebak dan memasuki identitas ini terlampau jauh, ia lebih memilih “rasa” yang justru identik dalam jiwa manusia jawa. Kepekaan itulah yang membawa lan fang seperti membawa emosi-emosinya, hasrat juga kedalaman perasaannya dalam puisinya. Ada kata-kata “nawang wulan”, ada “sasmita”, bahkan ada kata-kata “ngudarasa”  dan ‘kasunyataan”. Kita pun bisa saja mencurigai dengan perasaan dan motif keindahan bahasa hingga pada persoalan pasar, tapi tak mungkin lan fang menggunakan motif tersebut.

Lan Fang ingin menjelaskan secara zahir, puisinya tak kentara jika tak mampu membaca jiwa lan fang yang bersuara lirih dalam puisi ini

17 puisi lan fang yang terhimpun dalam puisi ini mengalir seperti air, bersiul seperti angin, dan kadang juga meniupkan angin sepoi yang sejuk. Kita bisa menyimak dalam puisi bagai :aku menantikanmu bagai tetes tirta di pasir/ bagai kasunyataan hujan tanpa air, zikir tanpa akhir. Aku mencintaimu bagai laut/ bagai induk semua anak sungai/ muara semua kabut. Aku merindukanmu bagai pengembara cakrawala/ sedang kau bagaimana?. Bahasa figurative dalam puisi lan fang tak hanya sekada bahasa visual, tapi ia melampaui itu. Ia tak hendak membawa pembaca berimajinasi, tapi sedang menonton langsung dan merasakan apa yang dialami penyair. Di puisi bagai, kita menemukan bahwa alam dan sekitarnya adalah keindahan yang tak  cukup mampu bila hanya diungkap melalui bahasa. Bahasa tak cukup memadai dan menjangkau keindahan dan keindahan alam.
Cinta
            Cinta Lan Fang sebagaimana yang selama ini ia tunjukkan dalam hidupnya, ia tak membeda-bedakan, ia melebur, dan mengilhami dari setiap ajaran dan khasanah kemanusiaan. Agama  tidak dipandangnya sebagai musuh, melainkan sebagai perbedaan yang justru menambah dan memperkaya diri. Ia tak asing dengan gusdur,ini dibuktikan dengan buku yang mengisahkan memorinya bersama gus dur. “IMLEK TANPA GUS DUR” adalah bukti bahwa ia memiliki perasaan batiniah yang sangat ketika memiliki sahabat, bapak hingga kepada sosok kepemimpinan dari gus dur. Ia mengajar di pesantren gus dur, ia seperti tak memiliki perbedaan yang berarti meski berbeda agama. Maka simaklah batiniah dia ketika menuliskan puisi :Apakah/aku melihatmu di tikungan mimpi/ kau menuruni serambi masjid kecil yang sederhana/ sembari meniti/tampak sarungmu rapi sekali. Ketika itulah aku sampai/ seandainya kau mengerti/ada harum hio sua melewati ujung salatmu tadi/ apakah kau akan memintaku untuk berhenti?.
            Masjid, hingga nuansa puitik dalam puisi ini kentara dengan kisah lan fang dengan pesantren yang erat dengan dunia sarung, hingga pencitraan dalam puisi tadi. Ia seperti bertanya dan menyampaikan pesan pada kita, apakah ada batas, apakah ada garis yang menjadi pemisah antara jiwa yang mengagumi masjid dengan keindahan dan suasana jiwa di dalamnya dengan jiwa yang diluar masjid yang takjub dan sama-sama memancarkan harum hio sua sebagaimana yang digambarkan dalam puisi apakah. Lan fang bicara keras, tapi bahasanya halus, bahwa tak semestinya batas harus hilang dalam jiwa dan kelembutan hati bagi para pencinta dan pemeluk agama.
            Begitupun imajinasi subuh, imajinasi tuhan, hingga imajinasi kebeningan dihadirkan dalam nuansa pagi yang erat dengan suasana sejuk, bersih,dan penuh kelembutan. Lan fang menuliskan dalam puisi Tangis belibis(1) : teduh suara subuh/sepi bunyi tubuh/gerimis mendenting hening/dan Kau begitu bening. Dalam puisi ini ia kembali memainkan pesan yang ada dalam puisi ini melalui imajinasi citraan belibis, subuh hingga bening. Sungguh lan fang mengemas ini dengan sangat apik, ia tahu betul bahwa subuh dan pagi adalah tempat kejernihan yang mesti bersih dan putih seperti belibis. Tangis sebagai penanda bahwa ketakjuban diekspresikan dengan lelehan air mata yang mampu mengusik belibis hingga menangis. Lan fang seakan mengatakan bahwa ada keajaiban dan suasana luar biasa dalam suasana subuh. Puisi lan fang dalam 17 kumpulan puisi ini ditulis dengan kegairahan dan kedalaman. Ia tak mau terjerambab dengan persoalan keindahan yang sepi. Artinya, ia tak ingin jadi penyair yang menuliskan puisinya hanya sekadar memuja bintang dan bulan. Ghirah cinta lan- fang ada disana untuk menyapa kita.


*)Penulis adalah Alumnus UMS, bergiat di bilik literasi menulis buku hujan di tepian tubuh(2012)

No comments:

Post a Comment