klik disini untuk dapatkan dollar secara gratis!

Monday 21 July 2014

Potret PKK Di Tengah Ideologi Patriarki Negara




Judul buku                               :  SUARA DARI DESA : menuju revitalisasi PKK
Penulis                                    : Ani W Soetjipto dan Shelly Adelina
Penerbit                                  : Marjin Kiri  
Hal                                          : 222 Halaman
Tahun                                      : Maret 2013
ISBN                                         : 978-979-126-019-0

Oleh Arif Saifudin Yudistira*)
Buku ini adalah gambaran penting bagaimana gagasan revitalisasi PKK masih terlalu merujuk gerakan revitalisasi ke arah publik, tapi  melupakan ruang privat perempuan itu sendiri yakni di keluarga mereka masing-masing

Posisi perempuan di Indonesia sebagaimana digambarkan Susan Blackburn(2009) masih berada pada level yang didominasi oleh laki-laki baik di tataran birokrasi atau pemerintah maupun dalam lingkup terkecil yakni keluarga. Istilah partisipasi dalam lingkup keluarga, masyarakat maupun Negara pada dasarnya belum mampu untuk mengubah “perempuan” menjadi subjek bagi perubahan posisi perempuan itu sendiri. Perempuan selalu saja menempati posisi-posisi yang seolah-olah adalah hal yang wajar tatkala dihadapkan dengan tindak kekerasan, dominasi peran, ataupun ketidakadilan gender. Dalam posisi yang dianggap wajar itulah, gerakan perempuan yang ada dalam lingkup desa hingga lingkup Negara diciptakan untuk mengimbangi, menolak dan membantah argument bahwa peran perempuan dikesampingkan. Gerakan perempuan itulah yang sering dikenal dengan sebutan PKK (Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga)
Sudah semenjak awal hadirnya di tahun 1961, gerakan ini memang sengaja dicipta untuk mendukung dan mensukseskan program-program kerja pembangunan. Dengan relasi kepemimpinan ala Jawa yang berbentuk kekeluargaan itulah Orde Baru membangun gerakan PKK. Negara sebagai bapak atau pengayom dari keluarga. Gerakan PKK memang tidak jauh-jauh dari instruksi, perintah dan program yang ditelurkan pemerintah melalui instansi-instansinya. Maka dari itu, gerakan PKK ini lebih sering dikatakan sebagai gerakan yang tidak mungkin bergerak jauh selain dari program yang berada dalam lingkup keluarga dan sebatas pada sepuluh program PKK yang tercermin dalam mars PKK. Buku Suara Dari Desa: Menuju Revitalisasi PKK  ini adalah gambaran yang nyata dan deskripsi utuh mengenai dilema perempuan yang berada dalam gerakan PKK ini. Pada satu sisi perempuan yang bergiat di PKK ini memiliki ide kreatif, gerak yang dinamis dan progresif, tapi di sisi lain, perempuan-perempuan yang digambarkan sebagai aktifis PKK dalam buku ini tergantung pada dominasi suami selaku pejabat atau kepala pemerintahan yang mau tak mau harus menjadi pertimbangan mereka dalam melakukan geraknya. Di dalam posisi yang subordinat itulah, aktifis PKK menghadapi berbagai kendala mulai dari persoalan dana, ketidakleluasaan dalam bergerak, hingga ancaman atau ultimatum yang justru muncul dari kaum lelaki yang dalam hal ini direpresentasikan oleh pejabat atau pemerintah setempat.
Tantangan dan Peluang
Melalui buku ini, ada berbagai peluang gerakan perempuan dalam hal ini PKK untuk melakukan gerakan-gerakan yang lebih dinamis dan progresif. Melalui posisinya sebagai gerakan yang berlatar isteri pejabat sebagai ketua PKK, gerakan ini bisa lebih mampu membangun relasi dan integrasi yang lebih luas jangkauannya baik dalam sektor yang resmi yang berhubungan dengan instansi pemerintah, maupun sebaliknya pada institusi yang lebih bersifat kelembagaan seperti LSM, Ormas dan lain sebagainya. Pada sisi ini, kerjasama yang dibangun bisa mencapai pada berbagai aspek yang tidak hanya berkutat pada sepuluh program PKK. Misalnya yang terjadi di daerah Garut, Wates, Gunung kidul dan Wonosobo, yang memfokuskan pada program pendampingan korban KDRT, isu trafficking, maupun advokasi petani. Pada empat daerah inilah, studi kasus dalam buku ini memberikan gambaran dan dekripsi bagaimana PKK pada satu sisi bisa bergerak lebih jauh dan lebih maju, tapi disisi lain ia menghadapi kendala-kendala yang sulit untuk diselesaikan. Tantangan PKK dalam hal ini antara lain pertama, posisi gerakan ini yang diketuai oleh isteri pejabat seringkali membuat perempuan(anggota) lebih banyak silent(diam) daripada melakukan otokritik terhadap gerakan ini. Hal ini dikarenakan dalam masyarakat kita, perempuan tidak terbiasa melakukan kritik secara terbuka meski dalam lingkup organisasinya sendiri. Kedua, persoalan dan isu-isu perempuan seringkali dianggap sebagai isu perempuan, padahal isu-isu yang berkaitan dengan desa, dan kepentingan public sejatinya adalah tanggungjawab bersama, sehingga PKK dalam hal ini seperti bergerak dengan relasinya sendiri yang minim melibatkan peran lelaki. Ketiga, dikarenakan PKK mendapatkan dana dari penyantun dalam hal ini suami dari ketua PKK, seringkali isteri tidak bisa menuntut lebih apa yang sudah dianggarkan oleh suami untuk kegiatan PKK ini. Sehinggra program-programnya seringkali monoton dan tidak jauh berkembang. Keempat, seperti yang dialami di daerah Wates, Wonosobo, dan Kulon Progo, PKK memiliki potensi untuk berkembang dan bergerak lebih jauh dalam bidang-bidang yang meningkatkan kemandirian dan peningkatan potensi ekonomi. Hanya saja, dalam hal pemasaran, pengembangan produksi, dan pemanfaatan potensi desa ini justru mengalami hambatan sehingga usaha yang dibangun perempuan melalui PKK ini menjadi tidak berkembang. Terakhir,bagaimana penguatan PKK dihadapkan dengan pemanfaatan gerakan lain maupun dari partai politik yang seringkali memandang perempuan sebagia objek dan pendulang suara semata.
Revitalisasi
            Buku Suara dari desa ini setidaknya adalah potret yang menggambarkan bagaimana PKK mesti berjuang di tengah ideology patirarkal dan dominasi Negara. Meski demikian, analisis feminis digunakan untuk melihat bagaimana perempuan dan lelaki dipandang objektif tanpa harus dipandang saling terkooptasi dan terpisah. Maka dari itu, seruan revitalisasi PKK dalam buku ini sebenarnya lebih merujuk bagaimana gerakan perempuan (PKK) lebih fleksibel dan lebih mampu berintegrasi terhadap persoalan perempuan di ruang public. Misalnya dalam hal pemilu, partisipasi perempuan di ruang publik, penanganan KDRT, kebijakan yang mengarusutamakan gender, dan sebagainya. Akan tetapi, sebagaimana kritik yang diungkap oleh Ruth Indiah Rahayu dalam pengantar buku ini, buku ini dinilai lebih menggagas revitalisasi yang diarahkan ke ruang politik, tapi lupa menggagas revitalisasi dalam lingkup keluarga. Perempuan dalam posisi keluarga menempati hirarki yang berada dibawah, perempuan seringkali tak bisa melawan dominasi dan menyuarakan suaranya di lingkup keluarga mereka sendiri. Padahal, ketua PKK dalam hal ini adalah isteri dari pejabat atau kepala instansi pemerintah. Dengan posisi itulah, sebenarnya


*)Penulis adalah Alumnus UMS, pegiat di Bilik Literasi SOLO
*) Termuat di buletin Keris Semarang 

No comments:

Post a Comment