Judul
buku : SUARA DARI DESA : menuju revitalisasi PKK
Penulis
: Ani
W Soetjipto dan Shelly Adelina
Penerbit :
Marjin Kiri
Hal :
222 Halaman
Tahun :
Maret 2013
ISBN :
978-979-126-019-0
Oleh Arif Saifudin Yudistira*)
“Buku ini adalah gambaran penting bagaimana gagasan revitalisasi PKK masih terlalu merujuk gerakan revitalisasi ke arah publik, tapi melupakan ruang privat perempuan itu sendiri yakni di keluarga mereka masing-masing”
Posisi perempuan di Indonesia sebagaimana
digambarkan Susan Blackburn(2009) masih berada pada level yang didominasi oleh
laki-laki baik di tataran birokrasi atau pemerintah maupun dalam lingkup
terkecil yakni keluarga. Istilah partisipasi dalam lingkup keluarga, masyarakat
maupun Negara pada dasarnya belum mampu untuk mengubah “perempuan” menjadi
subjek bagi perubahan posisi perempuan itu sendiri. Perempuan selalu saja
menempati posisi-posisi yang seolah-olah adalah hal yang wajar tatkala
dihadapkan dengan tindak kekerasan, dominasi peran, ataupun ketidakadilan
gender. Dalam posisi yang dianggap wajar itulah, gerakan perempuan yang ada
dalam lingkup desa hingga lingkup Negara diciptakan untuk mengimbangi, menolak
dan membantah argument bahwa peran perempuan dikesampingkan. Gerakan perempuan
itulah yang sering dikenal dengan sebutan PKK (Pemberdayaan Kesejahteraan
Keluarga)
Sudah semenjak awal hadirnya di tahun 1961,
gerakan ini memang sengaja dicipta untuk mendukung dan mensukseskan
program-program kerja pembangunan. Dengan relasi kepemimpinan ala Jawa yang
berbentuk kekeluargaan itulah Orde Baru membangun gerakan PKK. Negara sebagai
bapak atau pengayom dari keluarga. Gerakan PKK memang tidak jauh-jauh dari
instruksi, perintah dan program yang ditelurkan pemerintah melalui
instansi-instansinya. Maka dari itu, gerakan PKK ini lebih sering dikatakan
sebagai gerakan yang tidak mungkin bergerak jauh selain dari program yang
berada dalam lingkup keluarga dan sebatas pada sepuluh program PKK yang
tercermin dalam mars PKK. Buku Suara Dari Desa: Menuju Revitalisasi PKK ini
adalah gambaran yang nyata dan deskripsi utuh mengenai dilema perempuan yang
berada dalam gerakan PKK ini. Pada satu sisi perempuan yang bergiat di PKK ini
memiliki ide kreatif, gerak yang dinamis dan progresif, tapi di sisi lain,
perempuan-perempuan yang digambarkan sebagai aktifis PKK dalam buku ini
tergantung pada dominasi suami selaku pejabat atau kepala pemerintahan yang mau
tak mau harus menjadi pertimbangan mereka dalam melakukan geraknya. Di dalam
posisi yang subordinat itulah, aktifis PKK menghadapi berbagai kendala mulai
dari persoalan dana, ketidakleluasaan dalam bergerak, hingga ancaman atau
ultimatum yang justru muncul dari kaum lelaki yang dalam hal ini direpresentasikan
oleh pejabat atau pemerintah setempat.
Tantangan dan Peluang
Melalui buku ini, ada berbagai peluang gerakan
perempuan dalam hal ini PKK untuk melakukan gerakan-gerakan yang lebih dinamis
dan progresif. Melalui posisinya sebagai gerakan yang berlatar isteri pejabat
sebagai ketua PKK, gerakan ini bisa lebih mampu membangun relasi dan integrasi
yang lebih luas jangkauannya baik dalam sektor yang resmi yang berhubungan
dengan instansi pemerintah, maupun sebaliknya pada institusi yang lebih bersifat
kelembagaan seperti LSM, Ormas dan lain sebagainya. Pada sisi ini, kerjasama
yang dibangun bisa mencapai pada berbagai aspek yang tidak hanya berkutat pada
sepuluh program PKK. Misalnya yang terjadi di daerah Garut, Wates, Gunung kidul
dan Wonosobo, yang memfokuskan pada program pendampingan korban KDRT, isu
trafficking, maupun advokasi petani. Pada empat daerah inilah, studi kasus
dalam buku ini memberikan gambaran dan dekripsi bagaimana PKK pada satu sisi
bisa bergerak lebih jauh dan lebih maju, tapi disisi lain ia menghadapi
kendala-kendala yang sulit untuk diselesaikan. Tantangan PKK dalam hal ini
antara lain pertama, posisi gerakan
ini yang diketuai oleh isteri pejabat seringkali membuat perempuan(anggota)
lebih banyak silent(diam) daripada
melakukan otokritik terhadap gerakan ini. Hal ini dikarenakan dalam masyarakat
kita, perempuan tidak terbiasa melakukan kritik secara terbuka meski dalam
lingkup organisasinya sendiri. Kedua,
persoalan dan isu-isu perempuan seringkali dianggap sebagai isu perempuan,
padahal isu-isu yang berkaitan dengan desa, dan kepentingan public sejatinya
adalah tanggungjawab bersama, sehingga PKK dalam hal ini seperti bergerak
dengan relasinya sendiri yang minim melibatkan peran lelaki. Ketiga, dikarenakan PKK mendapatkan dana
dari penyantun dalam hal ini suami dari ketua PKK, seringkali isteri tidak bisa
menuntut lebih apa yang sudah dianggarkan oleh suami untuk kegiatan PKK ini.
Sehinggra program-programnya seringkali monoton dan tidak jauh berkembang. Keempat, seperti yang dialami di daerah
Wates, Wonosobo, dan Kulon Progo, PKK memiliki potensi untuk berkembang dan
bergerak lebih jauh dalam bidang-bidang yang meningkatkan kemandirian dan
peningkatan potensi ekonomi. Hanya saja, dalam hal pemasaran, pengembangan
produksi, dan pemanfaatan potensi desa ini justru mengalami hambatan sehingga
usaha yang dibangun perempuan melalui PKK ini menjadi tidak berkembang. Terakhir,bagaimana penguatan PKK
dihadapkan dengan pemanfaatan gerakan lain maupun dari partai politik yang
seringkali memandang perempuan sebagia objek dan pendulang suara semata.
Revitalisasi
Buku
Suara dari desa ini setidaknya adalah potret yang menggambarkan
bagaimana PKK mesti berjuang di tengah ideology patirarkal dan dominasi Negara.
Meski demikian, analisis feminis digunakan untuk melihat bagaimana perempuan
dan lelaki dipandang objektif tanpa harus dipandang saling terkooptasi dan
terpisah. Maka dari itu, seruan revitalisasi PKK dalam buku ini sebenarnya
lebih merujuk bagaimana gerakan perempuan (PKK) lebih fleksibel dan lebih mampu
berintegrasi terhadap persoalan perempuan di ruang public. Misalnya dalam hal
pemilu, partisipasi perempuan di ruang publik, penanganan KDRT, kebijakan yang
mengarusutamakan gender, dan sebagainya. Akan tetapi, sebagaimana kritik yang diungkap
oleh Ruth Indiah Rahayu dalam
pengantar buku ini, buku ini dinilai lebih menggagas revitalisasi yang
diarahkan ke ruang politik, tapi lupa menggagas revitalisasi dalam lingkup
keluarga. Perempuan dalam posisi keluarga menempati hirarki yang berada dibawah,
perempuan seringkali tak bisa melawan dominasi dan menyuarakan suaranya di
lingkup keluarga mereka sendiri. Padahal, ketua PKK dalam hal ini adalah isteri
dari pejabat atau kepala instansi pemerintah. Dengan posisi itulah, sebenarnya
*)Penulis adalah Alumnus UMS,
pegiat di Bilik Literasi SOLO
*) Termuat di buletin Keris Semarang
No comments:
Post a Comment