Judul buku Rumah Bambu (kumpulan cerpen)
Penulis Y.B.Mangunwijaya
Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia
Hal 200 halaman
ISBN 978-979-91-0462-5
Harga Rp.45.000,00
Arif
saifudin yudistira*)
Bagi kita romo mangun bukan hanya sosok yang pandai berkisah. Tapi ia sendiri adalah kisah. Justru karena ia sendiri adalah kisah yang perlu kita simak itulah, kita perlu mendengar kisah(cerita) yang dikisahkannya, barangkali ada dirinya dan jiwanya yang hendak ia sampaikan
Bila
ada Romo di Indonesia yang memiliki bakat luar biasa dan multi talenta, maka
dengan segera kita akan menjawab satu nama : mangunwijaya!!!. Romo
mangunwijaya, ya ia tak hanya dikenal sebagai rohaniawan, filsuf, tapi ia
dikenal sebagai sosok sastrawan yang “njawani” dan humanis. Kepiawaiannya tak
hanya tampil dalam wujudnya sebagai sastrawan, filsuf, dan sang rohaniawan.
Tapi kepiawaiannya itu jsutru ketika ia menyadari sebagai manusia biasa. Dengan
hal inilah, ia menyadari bahwa kewajiban dan tugasnya tak lain adalah
sebagaimana yang dikatakan multatuli “menjadi manusia” .Romo
mangun wijaya, ia dikenal sebagai rohaniawan yang “mengerti” akan tempat dimana
ia melakukan kerja kerohaniannya dan kerja kemanusaiaannya. Ia memahami,
menghayati, atau bahkan bisa dikatakan menyatu bersama kotanya “Yogyakarta”.
Disanalah ia menghayati kehidupan tukang becak, pelacur, warung HIK, pedagang
kaki lima, hingga dunia dosen dan dunia mahasiswa. Dunia itu tertampil dengan
bahasa ringan, apa adanya, tapi tak kehilangan maknanya. Mangunwijaya ingin
mengajak manusia memikirkan apa artinya “manusia”. Romo mangun tak hanya piawai
menangkap lanskap kehidupan orang kecil, kehidupan orang-orang bawah bahkan
kehidupannya sendiri sebagai pengasuh anak-anak miskin kota.
Mangun
menunjukkan dedikasinya kembali melalui “bahasa”. Melalui bahasa itulah yang
cenderung universal, tak mengenal agama, dan tak mengenal suku bangsa romo
mangun menunjukkan keberbagiannya dan rasa kemanusiaannya. Romo mangun ingin
mengajak kita, di kehidupan orang bawah ada warna-warni yang tak kita sadari,
ada tragedy yang tak kunjung kita mengerti, dan ada peristiwa yang tak begitu
saja bisa kita lupa. Kepiawaiannya ini bisa kita temukan dalam cerpen “ Tak ada jalan lain”. Cerpen singkat
ini mengisahkan tragisme seorang waria yang tak ada pilihan lain. Baridin
pemuda yang hidup di tengah kota, yang miskin ditengah kehidupan pelacuran, dan
memilih menjalani hidup “ngamen” di tengah jalanan. Simaklah penggalan cerita
dengan bahasa yang biasa tapi menggetirkan berikut ini : “baridin bukan wadam bukan priwa, bukan psikopat ataupun maniak seks.
Dia biasalah, pemuda penganggur yang serba kalah karena lemah lembutnya dalam
kancah pertarungan nasi dan nafkah. Ibunya menangis ketika baridin
memberitahukan niatnya untuk serba halal menggaet duit orang-orang pecinan
selaku pengamen wedok.”
Kisah
Bagi
kita romo mangun bukan hanya sosok yang pandai berkisah. Tapi ia sendiri adalah
kisah. Justru karena ia sendiri adalah kisah yang perlu kita simak itulah, kita
perlu mendengar kisah(cerita) yang dikisahkannya, barangkali ada dirinya dan
jiwanya yang hendak ia sampaikan. Kisah itu tercatat ketika romo mangun suatu
hari mendapati pembantunya terlalu banyak dalam membaut lem kanji, dengan
sangat mengejutkan ia menyuruh pembantunya untuk memakan sisa dari lem kanjinya
itu. Sosok romo ini memiliki watak khas yang manusiawi. Sebagaimana disebutkan
oleh Joko pinurbo. Ia terkadang keras minta ampun, tapi terkadang lembut minta
ampun. Ia terkadang bisa marah dan menjadi sosok yang menyeramkan, tapi sering
pula ia tak mau dimarahi dan dikritik. Sosok itulah yang menegaskan posisinya
sebagai “manusia biasa”jabatan yang paling disukainya.
Sebagai pencerita, ia kerap
menceritakan orang dan kehidupan tokoh kaum “cilik” yang mengalami nasib
memelas lagi tertindas. Cerita ini ia tuangkan di dalam cerpen “colt-kemarau”, kisah ini menceritakan
nasib seorang anak bernama kasirin. Ia anak desa yang rajin namun karena
kekurangan dana ia tak mau meneruskan kuliah dan menggembala domba. Di suatu
siang, ia membaca buku yang menjadi hobinya, sambil menggembalakan kambing.
Tapi alangkah naasnya ketika kasirin harus kehilangan kambingnya yang raup
seketika. Tak hanya itu pula, Di cerpen “Malam
Basah” kita akan menemukan betapa polah anak yang mencurigai bapaknya jadi
sesuatu yang membingungkan, canggung dan serba salah. Wagiyo anak seorang bapak
tani itu pun sadar, bahwa kelakuan dan dugaan aib dan perselingkuhan yang
selama ini diduga kuat itu cuma dugaan dan prasangkanya semata.
Banyak kisah-kisah tak terduga dari
orang desa dan kehidupan yang sebenarnya bisa kita lihat tak jauh dari kampong
tinggalnya yakni di Yogyakarta. Sebagai pencinta anak, ia pun menorehkan
catatan kisahnya tentang anak yang penuh getir dan canda. Ia menuangkan kisah
iyah sang anak pencuri yang dikisahkan dalam cerpen berjudul “Cat kaleng”, “Sungai batu” yang
bercerita anak dan bapak yang menjadi pemecah batu di lereng merapi, juga
cerpen “hadiah abang” yang
menceritakan kesalahpahaman adik dan kakak yang khawatir kakaknya menjadi
pencuri, tapi ternyata menjadi tukang kenek.
Imajinatif,
kontemplatif
Meski
tinggal dijogjakarta, romo mangun wijaya bukan sosok sastrawan yang melulu
mengutak-atik jogja dalam ceritanya. Ia sosok yang imajinatif, kreatif bahkan
kontemplatif. Melalui cerpennya yang berjudul “Rheinstein” ia memadukan tokoh
yang akademis, dengan percintaan romantis, dan sekaligus kontemplatif. Cerpen
ini mengisahkan sosok isteri yang dilematis, antara kesetiaan dan
profesionalitasnya yang seringkali bersinggungan yang kerapkali menggoda naluri
manusiawinya melihat sosok pemuda tampan dari luar bernama “Gustav”. Cerita ini
mengundang imajinasi jauh karena mengambil setting jerman dan belanda.Sebagai filsuf yang nyastra, Romo mangun memasukkan
falsafah jawa, permenungannya dalam cerpen “renungan
pop”,”mbah benguk”,”mbak pung”. Cerpen-cerpen itu mengisahkan perempuan
dengan segala sosok tokoh yang apa adanya, sederhana, jenaka, tapi juga menusuk
nasibnya. Melalui cerpen ini seolah romo mangun ingin menyuarakan dan
mengangkat kisah dan kehidupan orang kecil yang lekat dengan kesederhanaan dan
kesahajaannya. Dua puluh cerpen dalam kumpulan
cerpen ini adalah kisah yang ingin dikisahkan oleh romo mangun wijaya. Kisah
ini penuh dengan refleksi, kontemplasi juga canda yang menggetirkan dan tragisme
kaum bawah. Melalui cerita ini pula, ia menegaskan posisi dan tugasnya sebagai
manusia. Meski dengan bersandang gelar sastrawan, rohaniawan, dan filsuf,
mangunwijaya seolah menegaskan melalui cerita ini “Ia hanya manusia biasa yang menceritakan dirinya dan orang-orang
disekitarnya”. Begitu.
*)Penulis adalah Pegiat Bilik Literasi
Solo, Presidium kawah institute indonesia
sepertinya buku ini menarik... :D
ReplyDeleteiya dong...............
ReplyDelete