klik disini untuk dapatkan dollar secara gratis!

Monday 21 July 2014

Romo Mangun Bercerita



Judul buku                             Rumah Bambu (kumpulan cerpen)
Penulis                                   Y.B.Mangunwijaya
Penerbit                                 Kepustakaan Populer Gramedia
Hal                                          200 halaman
ISBN                                        978-979-91-0462-5
Harga                                      Rp.45.000,00


Arif saifudin yudistira*)

Bagi kita romo mangun bukan hanya sosok yang pandai berkisah. Tapi ia sendiri adalah kisah. Justru karena ia sendiri adalah kisah yang perlu kita simak itulah, kita perlu mendengar kisah(cerita) yang dikisahkannya, barangkali ada dirinya dan jiwanya yang hendak ia sampaikan
           
Bila ada Romo di Indonesia yang memiliki bakat luar biasa dan multi talenta, maka dengan segera kita akan menjawab satu nama : mangunwijaya!!!. Romo mangunwijaya, ya ia tak hanya dikenal sebagai rohaniawan, filsuf, tapi ia dikenal sebagai sosok sastrawan yang “njawani” dan humanis. Kepiawaiannya tak hanya tampil dalam wujudnya sebagai sastrawan, filsuf, dan sang rohaniawan. Tapi kepiawaiannya itu jsutru ketika ia menyadari sebagai manusia biasa. Dengan hal inilah, ia menyadari bahwa kewajiban dan tugasnya tak lain adalah sebagaimana yang dikatakan multatuli “menjadi manusia” .Romo mangun wijaya, ia dikenal sebagai rohaniawan yang “mengerti” akan tempat dimana ia melakukan kerja kerohaniannya dan kerja kemanusaiaannya. Ia memahami, menghayati, atau bahkan bisa dikatakan menyatu bersama kotanya “Yogyakarta”. Disanalah ia menghayati kehidupan tukang becak, pelacur, warung HIK, pedagang kaki lima, hingga dunia dosen dan dunia mahasiswa. Dunia itu tertampil dengan bahasa ringan, apa adanya, tapi tak kehilangan maknanya. Mangunwijaya ingin mengajak manusia memikirkan apa artinya “manusia”. Romo mangun tak hanya piawai menangkap lanskap kehidupan orang kecil, kehidupan orang-orang bawah bahkan kehidupannya sendiri sebagai pengasuh anak-anak miskin kota.
Mangun menunjukkan dedikasinya kembali melalui “bahasa”. Melalui bahasa itulah yang cenderung universal, tak mengenal agama, dan tak mengenal suku bangsa romo mangun menunjukkan keberbagiannya dan rasa kemanusiaannya. Romo mangun ingin mengajak kita, di kehidupan orang bawah ada warna-warni yang tak kita sadari, ada tragedy yang tak kunjung kita mengerti, dan ada peristiwa yang tak begitu saja bisa kita lupa. Kepiawaiannya ini bisa kita temukan dalam cerpen “ Tak ada jalan lain”. Cerpen singkat ini mengisahkan tragisme seorang waria yang tak ada pilihan lain. Baridin pemuda yang hidup di tengah kota, yang miskin ditengah kehidupan pelacuran, dan memilih menjalani hidup “ngamen” di tengah jalanan. Simaklah penggalan cerita dengan bahasa yang biasa tapi menggetirkan berikut ini : “baridin bukan wadam bukan priwa, bukan psikopat ataupun maniak seks. Dia biasalah, pemuda penganggur yang serba kalah karena lemah lembutnya dalam kancah pertarungan nasi dan nafkah. Ibunya menangis ketika baridin memberitahukan niatnya untuk serba halal menggaet duit orang-orang pecinan selaku pengamen wedok.”

Kisah

            Bagi kita romo mangun bukan hanya sosok yang pandai berkisah. Tapi ia sendiri adalah kisah. Justru karena ia sendiri adalah kisah yang perlu kita simak itulah, kita perlu mendengar kisah(cerita) yang dikisahkannya, barangkali ada dirinya dan jiwanya yang hendak ia sampaikan. Kisah itu tercatat ketika romo mangun suatu hari mendapati pembantunya terlalu banyak dalam membaut lem kanji, dengan sangat mengejutkan ia menyuruh pembantunya untuk memakan sisa dari lem kanjinya itu. Sosok romo ini memiliki watak khas yang manusiawi. Sebagaimana disebutkan oleh Joko pinurbo. Ia terkadang keras minta ampun, tapi terkadang lembut minta ampun. Ia terkadang bisa marah dan menjadi sosok yang menyeramkan, tapi sering pula ia tak mau dimarahi dan dikritik. Sosok itulah yang menegaskan posisinya sebagai “manusia biasa”jabatan yang paling disukainya.
            Sebagai pencerita, ia kerap menceritakan orang dan kehidupan tokoh kaum “cilik” yang mengalami nasib memelas lagi tertindas. Cerita ini ia tuangkan di dalam cerpen “colt-kemarau”, kisah ini menceritakan nasib seorang anak bernama kasirin. Ia anak desa yang rajin namun karena kekurangan dana ia tak mau meneruskan kuliah dan menggembala domba. Di suatu siang, ia membaca buku yang menjadi hobinya, sambil menggembalakan kambing. Tapi alangkah naasnya ketika kasirin harus kehilangan kambingnya yang raup seketika. Tak hanya itu pula, Di cerpen “Malam Basah” kita akan menemukan betapa polah anak yang mencurigai bapaknya jadi sesuatu yang membingungkan, canggung dan serba salah. Wagiyo anak seorang bapak tani itu pun sadar, bahwa kelakuan dan dugaan aib dan perselingkuhan yang selama ini diduga kuat itu cuma dugaan dan prasangkanya semata.
            Banyak kisah-kisah tak terduga dari orang desa dan kehidupan yang sebenarnya bisa kita lihat tak jauh dari kampong tinggalnya yakni di Yogyakarta. Sebagai pencinta anak, ia pun menorehkan catatan kisahnya tentang anak yang penuh getir dan canda. Ia menuangkan kisah iyah sang anak pencuri yang dikisahkan dalam cerpen berjudul “Cat kaleng”, “Sungai batu” yang bercerita anak dan bapak yang menjadi pemecah batu di lereng merapi, juga cerpen “hadiah abang” yang menceritakan kesalahpahaman adik dan kakak yang khawatir kakaknya menjadi pencuri, tapi ternyata menjadi tukang kenek.

Imajinatif, kontemplatif

            Meski tinggal dijogjakarta, romo mangun wijaya bukan sosok sastrawan yang melulu mengutak-atik jogja dalam ceritanya. Ia sosok yang imajinatif, kreatif bahkan kontemplatif. Melalui cerpennya yang berjudul “Rheinstein” ia memadukan tokoh yang akademis, dengan percintaan romantis, dan sekaligus kontemplatif. Cerpen ini mengisahkan sosok isteri yang dilematis, antara kesetiaan dan profesionalitasnya yang seringkali bersinggungan yang kerapkali menggoda naluri manusiawinya melihat sosok pemuda tampan dari luar bernama “Gustav”. Cerita ini mengundang imajinasi jauh karena mengambil setting jerman dan belanda.Sebagai filsuf yang nyastra, Romo mangun memasukkan falsafah jawa, permenungannya dalam cerpen “renungan pop”,”mbah benguk”,”mbak pung”. Cerpen-cerpen itu mengisahkan perempuan dengan segala sosok tokoh yang apa adanya, sederhana, jenaka, tapi juga menusuk nasibnya. Melalui cerpen ini seolah romo mangun ingin menyuarakan dan mengangkat kisah dan kehidupan orang kecil yang lekat dengan kesederhanaan dan kesahajaannya. Dua puluh cerpen dalam kumpulan cerpen ini adalah kisah yang ingin dikisahkan oleh romo mangun wijaya. Kisah ini penuh dengan refleksi, kontemplasi juga canda yang menggetirkan dan tragisme kaum bawah. Melalui cerita ini pula, ia menegaskan posisi dan tugasnya sebagai manusia. Meski dengan bersandang gelar sastrawan, rohaniawan, dan filsuf, mangunwijaya seolah menegaskan melalui cerita ini “Ia hanya manusia biasa yang menceritakan dirinya dan orang-orang disekitarnya”. Begitu.


*)Penulis adalah Pegiat Bilik Literasi Solo, Presidium kawah institute indonesia

2 comments: