klik disini untuk dapatkan dollar secara gratis!

Monday 21 July 2014

Parodi Pendidikan di Indonesia



Judul Buku     : Guru Gokil Murid Unyu
Penulis buku  : J.Sumardianta
Tahun terbit   : 2013
ISBN                : 978-602-7888-13-5
Penerbit         : Bentang
Halaman         : 306 Halaman


Oleh Arif Saifudin Yudistira*)

            Guru Gokil Murid Unyu. Sekilas judul itu akan membawa kita pada persepsi bahwa gurunya saja gokil, mestinya muridnya lebih gokil. Tapi sebaliknya, gurunya gokil, muridnya masih unyu-unyu. Kalau dalam pikiran saya , guru gokil itu guru yang suka ngelawak, suka lelucon dan tak monoton bila mengajar. Tapi bayangan saya dengan murid “unyu” tak beda dengan murid yang bergaya ala Cherry belle. Pendapat saya ini bisa anda bantah tentunya. Tapi kita akan menemui bagaimana maksud J. Sumardianta ini lebih dalam ketika memasuki essai-essai kontemplatif nan renyah dalam buku ini. Sebagaimana pengakuan penulis buku ini, essai-essai ini adalah cara penulis merefleksikan pengalaman mengajar dan pengalaman hidupnya selama 20 tahun. Mengajar sebagaimana penulis tuturkan sebenarnya adalah cara terbaik untuk belajar lebih jauh. Penulis justru menemukan banyak hal dari mengajar, ia merasa menjadi manusia haus pengetahuan dan keranjingan buku. Melalui buku-buku yang ia baca itu pula, ia tak hanya meraup berkah yang melimpah. Essai-essai yang ia tuliskan di pelbagai media adalah celengan untuk memoles hidupnya. Guru satu ini memang tak seperti Oemar Bakri, tapi guru ini setidaknya adalah guru yang kreatif untuk mengelola hidup dan memanfaatkan semua potensinya untuk belajar. Ia justru lebih mirip murid yang unyu-unyu yang tak memiliki apa-apa, dengan gaya yang menggemaskan.
            Melalui mata pelajaran yang ia ampu yakni sosiologi, ia memasukkan nilai-nilai sosial, kehidupan di luar sekolah, dan masyarakat luas. Melalui forum di sekoahannya ia undang para penulis buku, untuk berbagi. Ia ingin muridnya belajar tidak hanya dari buku tapi juga dari pengalaman para penulisnya langsung. Pembelajaran guru ini pun variatif, ia memadukan bagaimana murid mencintai buku dan ia juga belajar dari murid yang tak doyan buku. Singkatnya, sosok guru ala J. Sumardianta ini adalah antitesa guru masa lampau. Model pembelajaran, komunikasi, kisah-kisah bijaksana dari buku dan dari kebudayaan dari Negara-negara luar kerap menghiasi nuansa kelasnya. Para siswa diajak berimajinasi tentang china, tentang India melalui Rabrindanath Tagore dan tokoh-tokoh dunia lainnya. Kelas yang mengajak muridnya berselancar kemana-mana dan kelas yang mengajari muridnya melalui kisah inilah yang kini langka. Murid-murid sekolah kita memang cenderung jauh dari kisah-kisah. Kebiasaan mendongeng dan bercerita dianggap oleh guru-guru masa kini sebagai kegiatan di luar pelajaran dan diluar pembelajaran. Padahal guru yang tidak bisa memikat dan merayu siswa melalui cerita itulah guru yang masih unyu dan belum jadi guru gokil.
            J. Sumardianta setidaknya adalah salah satu dari guru di Indonesia yang bisa menikmati kegiatannya mengajar. Mengajar bagi J.Sumardianta justru saat-saat menyenangkan baginya sekaligus saat-saat serius. Saat-saat seriusnya adalah ketika ia harus belajar dari siswa yang mengantuk, tidak memperhatikan, malas, dan tak tekun. Ia tak semata-mata menyalahkan muridnya, justru sebaliknya ia malah mengoreksi dirinya dan menginstropeksi dirinya. Apa yang salah dari pembelajaran dan metodenya, dan model yang ia gunakan. Jaman sekarang mencari guru yang demikian memang susah. Guru yang harus mengerti dan memahami model anak-anak yang jadi didikan tablet, i-pad, dan model i-phone dan smart phone. Mereka lebih kreatif dan lebih mengerti dari gurunya, guru sekarang bukan lagi model guru masa lalu yang harus menjadi raja dalam kelas. Justru guru di masa sekarang mesti lebih banyak mendengar, lebih banyak menyerap dan mencercap. 

" Sebagaimana ungkapan Paulo Coelho : “Kaca bilang : sebelum bertindak lihatlah dirimu sendiri, karpet bilang : sujudlah!pengetahuan suka bicara, kearifan cenderung mendengarkan”. Guru gokil mesti banyak mendengar dan memperhatikan muridnya"

Menjadi guru= menjadi murid
            J. Sumardianta mengajarkan menjadi guru sejatinya adalah menjadi murid yang sebenarnya. Sebagaimana yang diungkapkan MH Ainun najib “guru itu kan sebenarnya murid yang sebenarnya, lah orang gurunya satu, muridnya bisa empat puluhan, guru yang untung bisa memperoleh ilmu dari empat puluh orang”. Karena menjadi murid itulah mestinya guru tak boleh lelah, tak boleh merasa puas oleh kerjanya. Bila kita mengenal bahwa belajar itu seumur hidup, guru justru belajar setiap hari melalui berbagai fenomena, percobaan dan eksperimennya yang ia lakukan tiap hari. Sekolah layaknya laboratorium kehidupan bagi guru. Di dalam buku ini J. Sumardianta belajar dari murid yang kehilangan orang tua, kehilangan semangat, sang murid pun sebaliknya ia belajar dari cerita yang diuraikan J.Sumardianta bahwa kehilangan anggota keluarga tak boleh memupus harapan.
            Uraian yang ada dalam Essai-essai yang dibagi menjadi Enam bab ini mengajak kita untuk mengingat bahwa ajaran dan essensi guru tak lain adalah mencintai dan belajar lebih banyak dari murid. Bila guru mau menjadi murid(pembelajar) yang tekun, ia akan dikelilingi berkah dan kebahagiaan yang tak putus. Murid lebih sering mengingat apa yang dilakukan oleh guru daripada pelajaran yang diberikan guru. Oleh karena itu, guru yang menyatu dengan cara belajar murid itulah yang bisa menyesuaikan perkembangan jaman. Bukan sebaliknya guru yang memaksakan model pembelajarannya kepada murid-muridnya.
            Essai-essai di dalam buku ini sejatinya adalah cerminan parodi pendidikan yang ada di negeri ini. J.Sumardianta justru ingin keluar dari persoalan pelik pendidikan Indonesia yang cenderung masih meributkan kurikulum, UN, dan carut-marut lainnya. Ia ingin bersuara lirih, ia ingin mengkritik dengan cara yang santun. Ia mengajak kita merenung, menyelam dan merenungkan kembali bahwa tugas guru yang berat ini mesti diatasi dengan senyum dan kelakar. Dengan kalimat sederhana Guru Gokil, Murid Unyu inilah ia mencoba menawarkan bagaimana menjadi guru yang lentur di abad teknologis ini. Selamat menyelami!.




*)Penulis adalah Alumnus UMS, Pegiat di Bilik Literasi SOLO

No comments:

Post a Comment